YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengukuhkan dua Guru Besar, Prof Dr Zaenal Arifin, MSi dan Prof Dr Ridwan SH, MHum. Pengukuhan dilaksanakan pada Rapat Terbuka Senat ‘Pidato Pengukuhan Profesor’ yang dipimpin Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII, Kamis (30/5/2024).
Prof Dr Zaenal Arifin merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Keuangan pada Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Islam Indonesia (FBE UII). Sedang Prof Dr Ridwan merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum (FH UII).
Prof Zaenal Arifin menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Tentang Manajemen, Keuangan, dan Perencanaan Keuangan.’ Zaenal Arifin mengungkapkan ada empat indikator kesehatan keuangan. Pertama, memiliki uang tunai minimal 15% dari kekayaan bersih untuk menjaga kemampuan membayar.
Kedua, mampu menabung minimal 10% dari penghasilan sebagai cadangan dana darurat. Ketiga, mampu mengelola utang dengan jumlah maksimum angsurannya 15% dari total pendapatan atau maksimum 35% jika digunakan untuk keperluan produktif. Ini untuk menjaga kemampuan membayar bunga dan cicilan.
Keempat, memiliki aset produktif minimal sebesar 50% dari total asetnya untuk menjamin peningkatan kekayaan. “Kita disebut sehat secara finansial jika keempat indikator tersebut sehat. Dalam konteks masyarakat Indonesia, indikator ke-4 yang paling banyak tidak terpenuhi,” kata Zaenal Arifin.
Menurut Zaenal Arifin, untuk mewujudkan kesehatan finansial perlu proses perencanaan keuangan. Perencanaan diawali dengan memotret situasi keuangan seseorang. Ada tiga hal yang perlu diketahui yaitu pertama, sumber-sumber pendapatan saat ini berikut besaran masing-masing. Kedua, pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan berikut besar dan frekuensinya. Ketiga, nilai dan ragam harta yang dimiliki termasuk nilai aset investasi dan utang jika ada.
Sementara Prof Ridwan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Ikhtiar Mewujudkan Diskresi Pemerintah yang Membawa Rahmatan Lil Alamin.’ Dekresi, bagi sebagian orang, dianggap dan memang didukung dengan beberapa fakta sebagai sumber kesewenang-wenangan penguasa terhadap warga negara. Diskresi memberikan peluang bagi penguasa untuk melampaui batas dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Ridwan menjelaskan diskresi sebagai suatu kewenangan bebas (vrij bevoegdheid) itu ibarat pedang bermata dua. Dekresi dapat digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan maupun keburukan dan kesewenang-wenangan, tergantung pada siapa yang menggunakannya.
Dekresi, kata Ridwan, dapat digunakan untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Pidato ini beranjak dari sifat preskriptif keilmuan hukum, yakni dalam arti bagaimana seharusnya diskresi digunakan atau apa yang seharusnya dilakukan dengan diskresi.
“Diskursus tentang ‘bagaimana seharusnya diskresi digunakan,’ di dalamnya menyiratkan prosedur penggunakan diskresi dan arah atau tujuan yang hendak dicapai. Dengan menggunakan prosedur yang benar dan terukur, diskresi dapat digunakan untuk mewujudkan rahmatan lil alamin,” kata Ridwan. (*)