YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid menandaskan kemampuan bercerita sangat relevan untuk banyak konteks. Di antaranya, interaksi personal, komunikasi profesional, penyampaian gagasan di ruang publik, penulisan ilmiah, hingga penulisan status di media sosial.
Bahkan cerita yang baik dapat menjembatani jarak, membangun kepercayaan, dan memikat perhatian orang lain. Kekuatan cerita personal tidak terletak pada kehebatan tokohnya, tapi pada kejujuran dan kerentanannya.
Rektor UII mengemukakan hal tersebut pada Wisuda Doktor, Magister, Sarjana dan Diploma di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Sabtu-Ahad (28-29/6/2025). UII mewisuda sebanyaj 712 lulusan dari berbagai jenjang pendidikan mengikuti prosesi wisuda: tiga ahli madya, 10 sarjana terapan, 581 sarjana, 108 magister, dan 10 doktor. Hingga hari ini, Universitas Islam Indonesia (UII) telah melahirkan 132.318 lulusan, yang telah menebar manfaat melalui beragam peran—baik di dalam negeri maupun di berbagai penjuru dunia.
Lebih lanjut, Fathul Wahid mengatakan cerita yang mampu menggugah hati adalah cerita yang tidak dibuat-buat, yang menunjukkan sisi manusiawi—tempat di mana orang lain bisa melihat dirinya sendiri. “Dalam konteks wisuda ini, kelulusan bukanlah akhir cerita, melainkan kelanjutan dari perjuangan yang sudah Saudara jalani, penuh warna dan emosi yang autentik,” kata Fathul.
Fathul menambahkan, seseorang sering tergoda untuk hanya menampilkan bagian yang indah dari perjalanannya seperti kesuksesan, penghargaan, dan pencapaian. Padahal, cerita yang membekas justru sering berasal dari saat-saat tersandung. “Saat merasa tidak cukup pintar. Saat nilai tidak sebaik harapan. Saat waktu hampir habis dan ide belum juga muncul. Tapi Saudara memilih bertahan. Di sanalah keajaiban narasi dimulai,” katanya.
Menurut Fathul, dalam dunia yang makin dipenuhi dengan citra sempurna, keberanian untuk mengakui ketidaksempurnaan adalah tindakan radikal. “Cerita tentang bagaimana Saudara pernah gagal, lalu bangkit, lebih jujur dan lebih kuat dibanding cerita kemenangan yang steril. Karena justru di saat-saat terendah, karakter diuji dan dibentuk. Dan di situlah orang lain bisa belajar, terinspirasi, dan terhubung secara emosional,” tandasnya.
Cerita hidup, kata Fathul, bukan lomba pencitraan. Ia bukan katalog prestasi, melainkan perjalanan batin. Maka, tak perlu malu untuk bercerita tentang rasa takut, keraguan, atau kesedihan yang Saudara alami selama masa studi. Sebab, setiap detik yang Saudara lalui adalah bagian sah dari perjuangan, dan tidak satu pun dari itu sia-sia.
“Cerita yang layak dibagikan bukan yang membuat kita terlihat hebat, tapi yang menunjukkan kita tetap berusaha meski keadaan sulit. Dan orang-orang tidak terinspirasi karena kita tak pernah jatuh, melainkan karena kita selalu berusaha bangkit. Cerita seperti inilah yang membentuk empati, memantik semangat, dan menumbuhkan rasa percaya bahwa setiap orang punya ruang untuk berkembang,” tambah Fathul.
Kata Fathul, kegagalan bukan tanda bahwa wisudawan lemah, tetapi bahwa wisudawan sedang belajar. Bahkan, keberhasilan hari ini tidak berdiri sendiri. Ia dibentuk dari akumulasi keberanian di masa-masa sulit. Maka, jika wisudawan hari ini berdiri di panggung kelulusan, itu bukan karena tidak pernah gagal, tetapi karena tidak menyerah ketika gagal.
“Kelak, saat wisudawan berkarya dan memimpin, ceritakanlah perjuangan itu. Jangan hanya bercerita tentang apa yang dicapai, tapi juga tentang apa yang dikorbankan, tentang luka yang sembuh perlahan, tentang air mata yang berubah menjadi kekuatan. Dunia yang kita nikmati hari ini disusun dari berjuta ketidaksempurnaan di masa lampau. Dunia tidak butuh lebih banyak kesempurnaan; ia butuh lebih banyak kejujuran,” katanya.
Fathul mengingatkan, cerita paling kuat adalah yang paling manusiawi. Manusiawi berarti berani mengakui bahwa seseorang pernah goyah, pernah salah, tapi terus memilih berjalan. Sebagian episode cerita itu sudah wisudawan susun di kampus ini. “Maka tulislah cerita hidup Saudara dengan tinta kejujuran, keberanian, dan harapan. Insyaallah, banyak orang siap mendengarkan, membacanya, dan terinspirasi,” harap Fathul. (*)