Agama Sebagai Sarana Ciptakan SDM Berkualitas

Seminar Nasional Agamawan Muda dan Masa Depan Kebangsaan’ secara virtual, Kamis (25/2/2021). (foto : screenshotzoom)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Agama seharusnya digunakan sebagai sarana untuk membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan berdaya saing. Agama juga harus menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan, membangun bangsa, merawat kebhinekaan dan memperkuat kesatuan nasional.

Demikian diungkapkan Prof Dr Nizar Ali, MAg, Sekretaris Jendral Menteri Agama Republik Indonesia saat menjadi keynote speaker pada ‘Seminar Nasional Agamawan Muda dan Masa Depan Kebangsaan’ secara virtual, Kamis (25/2/2021). Seminar ini diselenggarakan Prodi Hukum Islam Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Prodi Ilmu Agama Islam Program Magister, dan Pusat Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII).

Bacaan Lainnya

Seminar ini juga melibatkan Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya; Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN); Program Pascasarjana UKAW Kupang; STABN Raden Wijaya Wonogiri; Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI); Generasi Muda Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (GEMAPAKTI) Provinsi Jawa Tengah; Universitas San Pedro Kupang; Jemaat Ahmadiyah Indonesia; Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta; dan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang.

Lebih lanjut Nizar Ali mengatakan agama menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan, membangun bangsa, merawat kebhinekaan dan memperkuat kesatuan nasional. Kita ingin mempertajam kontek moderasi agama sehingga bisa mewujudkan agama yang rahmatan lil alamin.

“Rumusan rahmatan lil alamin adalah agama yang ramah, bukan yang marah; agama yang merangkul, bukan yang memukul; dan agama yang membina, bukan menghina,” kata Nizar.

Nizar merasa optimis kalau anak bangsa menjadikan agama sebagai inspirasi, masa depan bangsa akan menjadi cerah, semakin ramah, semakin dirasakan manfaatnya oleh bangsa dan negara. “Untuk meneguhkan kebangsaan ada tiga kunci yaitu mengelola keragaman, meneguhkan kebangsaan, dan memperkuat toleransi.
Ketiga hal ini menjadi soko pilar untuk membangun masa depan bangsa,” katanya.

Sedang Ketua Prodi DHI FIAI UII, Dr Yusdani MAg mengatakan seminar ini dilatarbelakangi kondisi Indonesia yang memiliki kemajemukan ras, suku, bahasa, agama, dan budaya tidak bisa lepas dari kebencian, intoleransi, konflik, permusuhan dan kekerasan. Berbagai konflik dan kekerasan pun multi dimensi, mulai dari berdimensi politik, ekonomi, sosial, lingkungan, agraria, sampai dengan berdimensi agama. Menguatnya konflik dan kekerasan selalu melibatkan tiga faktor, yaitu politik, media sosial dan agama.

Menurut Yusdani, agama seharusnya menjadi faktor solusi, tetapi saat ini justru menjadi bagian dari permasalahan. Konflik dan kekerasan bernuansa agama pun menjadi marak. “Berbagai tindak ujaran kebencian, intoleransi, diskriminasi, intimidasi, persekusi, dan kekerasan dibalut dengan isu agama,” kata Yusdani.

Kata Yusdani, masa depan Indonesia pada umumnya dan masa depan beragama pada khususnya, tampaknya akan ditentukan seberapa mampu berbagai komponen bangsa menyikapi, mengelola dan mencari solusi dari problem-problem konflik dan kekerasan selama ini. “Salah satu tempat kembali adalah kearifan agama-agama dan salah satu tanggung jawab itu ada pada pundak para agamawan muda,” katanya.

Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengatakan proses globalisasi telah memaksa Indonesia untuk berperan ganda yaitu sebagai pemain dalam globalisasi tetapi sekaligus merawat rasa kebangsaaan (nasionalisme) yang tinggi. “Tanpa rasa kebangsaan yang tinggi, sulit untuk bisa berperan sebagai pemain global yang disegani,” kata Fathul.

Untuk mendukung Indonesia bisa menjadi pemain tingkat global, perguruan tinggi sedikitnya memiliki lima peran penting untuk merawat masa depan bangsa dan kebangsaan. Pertama, perguruan tinggi bisa menjadi perekat perbedaan. Kedua, dapat berperan sebagai pelantang pesan persatuan. Ketiga, dapat berkontibusi menjadi penghasil solusi. Keempat, sebagai pengawal perjalanan negara yang siap meniup peluit ketika terjadi ketidakberesan. Kelima, bisa menjelma menjadi inkubator pemimpin masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *