UII dan UKM Rancang Studi Islam yang Dinamis

Webinar UII dan UKM The State of Islamic Studies in Malaysia and Indonesia: Current Challanges and Future Direction’, Senin (28/9/2020). (foto : screenshotzoom/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Program Studi Master Ilmu Agama Islam (MIAI) dan Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), serta Research Centre for Theology and Philosopgy, Faculty of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Senin (28/9/2020), menggelar Webinar bertema ‘The State of Islamic Studies in Malaysia and Indonesia: Current Challanges and Future Direction’.

Menurut Kaprodi DHI, Dr Yusdani, MAg Webinar ini bertujuan untuk meningkatkan atmosfer akademik internasional. Forum ini diharapkan menjadi tempat pertukaran gagasan ilmiah yang melibatkan pakar/ahli nasional dan internasional. “Secara khusus, memberikan ruang diskusi terkait tantangan dan masa depan Studi Islam di Indonesia dan Malaysia,” kata Yusdani.

Bacaan Lainnya

Webinar ini menghadirkan keynote speaker Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSi, PhD. Sedang pembicara Assoc Prof Dr Jaffary Awang (Research Centre for Theology and Philosopgy, Faculty of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia) dan Prof Dr Faisal Ismail, MA (Faculty of Islamic Studies, Universitas Islam Indonesia). Peserta webinar mahasiswa S2 (MIAI), S3 (DHI), dosen S1, S2 dan S3 Fakultas Ilmu Agama Islam UII.

Lebih lanjut Yusdani menjelaskan, Studi Islam dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan seiring dengan perubahan dan transformasi di masyarakat, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan teknologi. Setidaknya ada dua tantangan utama yang harus dihadapi oleh Studi Islam.

“Pertama, bagaimana Studi Islam secara insitusional mampu terus eksis dan relevan serta berperan secara kontributif dalam menjawab berbagai persoalan nyata umat manusia yang semakin kompleks. Kedua, bagaimana Studi Islam secara kreatif, dinamis dan konstruktif terus memperbaharui diri, terutama terkait paradigma dan pendekatan epistemologi keilmuan di tengah keragaman pemikiran, tradisi keilmuan dan peradaban,” jelasnya.

Sementara Rektor UII mengatakan ada tiga hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan ketika membahas tantangan dan sekaligus masa depan Studi Islam. Ketiga hal yang wajib diperhatikan adalah menghormati masa lalu, mengkritisi masa kini dan merancang masa depan.

Menurut Fathul Wahid, pertama, menghormati masa lalu dapat dilakukan dengan beberapa inisiatif. Di antaranya, meninjau kembali warisan peradaban Islam (misalnya sastra, cerita di balik artefak), menafsirkannya kembali untuk melihat keterkaitan dan relevansinya dengan kebutuhan saat ini, menggunakannya sebagai batu loncatan/ dasar untuk merancang masa depan Islam.

Kemudian kedua adalah mengkritisi masa kini. Ini bukan hal yang mudah tetapi harus dilakukannya karena ini bagian dari tugas. Di antaranya, mengidentifikasi kekuatan komunitas Muslim saat ini (ummah), (lebih baik) memahami perkembangan saat ini, dan (dengan cepat) menanggapi kebutuhan situasi saat ini.

“Kami harus mengakui bahwa kami memiliki beberapa masalah dalam hal ini. Seringkali, kita gagal untuk mengenali dan menghargai kekuatan kita karena kita sibuk melemahkan satu sama lain. Kami juga kurang sensitif dalam terlibat untuk menemukan solusi atas masalah yang sebenarnya,” kata Fathul.

Sedang ketiga, merancang masa depan. Fathul mengakui dirinya termasuk orang yang percaya bahwa masa depan harus dirancang secara kolektif dan hati-hati. Sebagai Muslim, tidak boleh hanya menunggu takdir, tanpa berusaha yang terbaik (ikhtiar). “Karena itu, saya mengajak Anda semua untuk menjauh dari perangkap tindakan reaktif yang tidak perlu atau tindakan sebagai pemadam kebakaran,” katanya.

Fathul mengajak peserta Webinar untuk mulai merancang masa depan kolektif dan peradaban Islam. Salah satu caranya, membuka jalan menuju peradaban Islam yang direvitalisasi dengan memperhatikan produksi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi.

“Inilah yang saya sebut peradaban berbasis sains. Sejarah telah memikirkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam memajukan peradaban suatu masyarakat,” terang Fathul Wahid.

Masa depan, kata Fathul, tidak hanya memiliki satu koridor, tetapi banyak koridor. Sebab masa depan dengan koridor tunggal tidak dapat memenuhi aspirasi semua orang. Sehingga perlu dibentuk masa depan yang banyak koridor agar bisa memenuhi seluruh aspirasi masyarakat.

“Alasannya, pertama, menghindari upaya berlebihan untuk menyatukan kita semua ke dalam satu platform yang disepakati dan ini tidak mudah (yang akan menghabiskan energi dan waktu). Kedua, menyediakan ruang yang cukup dan nyaman bagi semua orang untuk berkontribusi dalam membuat masa depan yang dicita-citakan, bisa terwujud,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *