Prodi MIAI dan DHI UII Gelar Studium Generale

Rektor UII, Prof Fathul Wahid saat memberikan sambutan pada Studium Generale Prodi MIAI dan DHI secara Daring, Sabtu (18/9/2021). (foto: screenshootzoom/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Agama Islam (MIAI) dan Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menggelar Studium Generale secara Daring (dalam jaringan), Sabtu (18/9/2021). Studium Generale bagi mahasiswa baru ini menghadirkan dua pembicara Prof Imam Sejad Mekic, MA, PhD dan Prof Faisal Ismail, MA, PhD.

Menurut Dr Drs Yusdani, M.Ag, Ketua Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII, Studium General ini wajib diikuti mahasiswa Prodi MIAI dan DHI. Prof Imam Sejad Mekic merupakan peneliti dari Universitas Exeter, Inggris menyampaikan makalah berjudul ‘Dynamics of Islamic Thought in the Balkhan: Study on Hosein Dozo’s Islamic Thought.’ Sedang Prof Faisal Ismail, Guru Besar UII menyampaikan materi berjudul ‘Dynamics of Islamic Thought in Contemporary Indonesia.’

Bacaan Lainnya

“Studium Generale ini diharapkan mahasiswa MIAI dan DHI memiliki wawasan yang lebih luas. Sehingga wawasan tersebut bisa mewarnai penelitian-penelitian mahasiswa untuk menyusun tesis atau desertasi,” kata Yusdani.

Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD, mengatakan kedua pembicara berbagi perspektif tentang dinamika pemikiran Islam, dengan referensi khusus untuk dua konteks yaitu Semenanjung Balkan (lebih khusus Bosnia) dan Indonesia. Diskusi ini akan menumbuhkan saling pengertian sebagai syarat menciptakan kesadaran kolektif yang bermanfaat dan berkontribusi pada kemajuan peradaban Islam.

“Saya ingin menekankan di sini bahwa saling pengertian tidak selalu mudah untuk dibangun. Di antara penyebabnya adalah beragamnya titik tolak pandangan para ulama Islam dan masa depan Islam yang mereka bayangkan,” kata Fathul Wahid.

Menurur Fathul, dua hal yang berbeda tidak selalu bertentangan secara diametris atau bahkan saling meniadakan (atau saling bersaing). Namun dalam banyak hal keduanya saling melengkapi atau memperkaya.

Fathul berpendapat ketika membahas berbagai pemikiran Islam, ilmuwan menganggap bahwa masing-masing perspektif yang diusulkan adalah benar secara metodologis. Kebenaran itu subjektif, profan, dan tidak mutlak. Namun di lapangan, ilmuwan sering bertindak sebagai teolog yang memberitakan kebenaran mutlak tanpa membuka ruang untuk debat atau diskusi, menggunakan perspektif biner: benar atau salah, satu atau nol, putih atau hitam.

“Cara berpikir seperti ini tentunya berlaku untuk masalah-masalah tertentu, misalnya tauhid, meyakini adanya Allah. Tapi, dalam banyak kasus lain, ada gradasi abu-abu,” kata Fathul.

Karena itu, kata Fathul, gagasan memiliki koridor imajiner relevan untuk memberikan lingkungan yang saling menghormati, di mana setiap pemikiran Islam yang beragam memiliki ruang pengembangan. “Konflik yang memakan energi antara kelompok-kelompok Muslim cukup sering dipicu oleh sudut pandang yang tidak disadari ini. Tentu saja, persepsi ini terbuka untuk diskusi lebih lanjut,” katanya.

Saat ini, jelas Fathul, dunia terus berubah. Setiap waktu memiliki masalah dan tuntutannya sendiri untuk solusi yang relevan. Islam harus menjadi bagian dari solusi untuk masalah kontemporer.

“Tentu saja, perspektif ini tidak menyiratkan bahwa kita tidak memiliki sudut pandang yang tetap. Maksud saya adalah bagaimana kita dapat mengubah semangat tauhid, penyerahan penuh kita kepada Tuhan (Allah), sebagai bahan bakar untuk kemajuan. Saya percaya bahwa semua umat Islam harus memiliki semangat ini sebagai titik tolak,” jelasnya.

Fathul yang mengutip tulisan Ziauddin Sardar (2006), kekurangan abad yang lalu, adalah ketidakmampuan umat Islam untuk menghargai kekuatan mereka sendiri, memahami realitas dunia kontemporer, dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat. Karena itu, jalan ke depan bagi umat Islam adalah menjadi proaktif, membentuk masa depan dengan pandangan ke depan dan penghargaan atas kesulitan mereka saat ini.

“Tujuan akhir dalam meremajakan atau mengontekstualisasikan pemikiran Islam adalah untuk Islam masa depan yang lebih cerah, membuktikan Islam merupakan agama yang cocok untuk semua zaman dan umat manusia. Mereka harus bermakna dan berguna sebagai batu loncatan untuk membangun peradaban Islam baru,” kata Fathul Wahid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *