Membangun Hubungan Harmonis Agama dan Negara

Hujair AH Sanaky saat memberikan sambutan pada pembukaan seminar di Kampus FIAI Demangan, Yogyakarta, Sabtu (16/12/2017). (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA — Dalam gerakan politik Indonesia, hubungan antara agama dan negara menalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi dan integrasi. Ketiga tipologi ini telah mengaalami dinamika yang progresif dan silih berganti. Terlebih di era reformasi, hubungan agama dan negara mengalami ‘ketegangan’ seakan tarik menarik dalam pusaran politik.

Demikian diungkapkan Dr Hujair AH Sanaky MSI, Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam (PPs FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) pada pembukaan seminar nasional di kampus Demangan Yogyakarta, Sabtu (16/12/2017). Seminar yang mengangkat tema ‘Membangun Relasi Simbiosis Negara Demokrasi dan Agama’ ini digelar Redaksi Jurnal Millah PPs FIAI UII.

Bacaan Lainnya

Seminar ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama menghadirkan pembicara Prof Drs Yudian Wahyudi MA, PhD (Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), Prof Jawahir Thontowi PhD (dosen Fakultas Ilmu Hukum UII). Sedangkan sesi kedua, Dr Fredrik Yoddoeka (dosen Arthawacana Kupang, Nusa Tenggara Timur), dan Dr Yusdani MAg (Sekretaris PPs FIAI UII).

Lebih lanjut Hujair Sanaky mengatakan persoalan agama dan negara sering kali menjadi persoalan yang menimbulkan polemik berkepanjangan. Terdapat beberapa pemikiran terkait relasi agama, khususnya Islam sebagai agama dengan penganut mayoritas dan negara.

“Sebagian berpendapat negara dan agama menyatu. Hal ini sebagaimana diwakili oleh kalangan yang menganut faham teokrasi. Menurut pemahaman kelompok ini, pemerintah dijalankan berdasarkan atas firman-firman Tuhan baik dalam aspek kehidupan ibadah maupun dalam konteks sosial-bernegara sehingga negara dilaksanakan atas titah Tuhan,” kata Hujair.

Sedang kelompok sekuler, kata Hujair, menyatakan hukum atau negara ditentukan atas kesepakatan manusia, bukan berdasarkan agama atau titah Tuhan. Walaupun dalam pelaksanaannya kemungkinan norma-norma tersebut bertenangan dengan norma agama.

Perbedaan keduanya, lanjut Hujair, semakin berkembang dan melahirkan berbagai produk pemikiran kebangsaan dan juga menimbulan kontra produktif. Di sisi lain, dialektika pemikiran tersebut semakin memantapkan dan mematangkan konsep bernegara, atau juga terjadi sikap check and balance.

Hubungan agama dan negara dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu oposisi, alienasi, dan integrasi. Dalam kehidupan masyarakat, ketiga varian ini terus mengalami progresivitas yang pesat.

“Di masa Majapahit, Islam mengambil peran sebagai oposisi. Masa Kerajaan Islam Demak, Islam berperan sentral dan berintegrasi dengan negara. Sedang di masa Kerajaan Mataram, Islam mengambil langkah moderasi yang berkarakter sinkretis,” tandas Hujair.

Tujuan seminar, kata Hujair, pertama, merumuskan relasi simbiosis agama dan negara demokrasi dalam lintasan sejarah klasik hingga kontemporer. Kedua, merespon dinamika hubungan antara agama dan negara demokrasi dalam bingkai kemajemukan dan merumuskan kontribusi dalam pengembangan kajian keislaman secara umum. Ketiga, menggali pemikiran Islam yang bernuansa keindonesiaan yang dapat dijadikan pijakan untuk merespon persoalan kemanusiaan, kebangsaan, keumatan dalam bidang keagamaan, budaya, pendidikan, dan lain-lain.