24 Mahasiswa Asing Ikuti Summer Course UGM

Mahasiswa Asing berpose di depan Gedung Fakultas Kedokteran UGM sebelum praktek lapangan. (foto : istimewa)
Mahasiswa Asing berpose di depan Gedung Fakultas Kedokteran UGM sebelum praktek lapangan. (foto : istimewa)

YOGYAKARTA – Sebanyak 24 mahasiswa asing yang berasal dari Jerman, Belanda, Malaysia, Jepang, Korea, Thailand dan Australia mengikuti Summer Course di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Kini mereka mengikuti kegiatan praktek kesehatan lapangan yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran UGM selama tiga pekan di tujuh kecamatan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Mahasiswa calon profesional kesehatan ini menetap di rumah warga dan menjalani berbagai macam kegiatan di pusat pelayanan kesehatan Puskesmas, Posyandu, Puskesling setempat,” kata Dekan Fakultas Kedokteran UGM Prof Dr dr Teguh Aryandono, SpB(K) di Yogyakarta, Jumat (23/9/2016).

Lebih lanjut Teguh mengatakan praktik kesehatan bersama mahasiswa asing ini dalam rangka kegiatan Summer Course yang bertajuk Interprofessional Health Care. Para mahasiswa calon praktisi dan tenaga medik ini akan melihat langsung permasalahan kesehatan masyarakat pedesaan. “Kita harapkan selama mengikuti Summer Course ini para mahasiswa bisa saling berbagi pengalaman dan mempraktikkan ilmu yang mereka dapatkan dari kampus masing-masing,” kata Teguh.

Sedang dr Hadianto SpA, koordinator pelaksana kegiatan mengatakan Kulonprogo dipilih sebagai tempat praktek karena daerah ini sudah menjadi lokasi kegiatan pengabdian masyarakat para civitas akademika FK UGM. Ke depan, Kulonprogo bisa menjadi percontohan dari sistem layanan kesehatan nasional.

Selain itu, kata Hadianto, sistem layanan kesehatan Kulonprogo sudah berjalan dengan baik. Khususnya, keberhasilan dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak serta pengentasan berbagai penyakit menular. “Angka kematian ibu dan anak di daerah ini termasuk rendah dibanding angka rata-rata nasional,” katanya.

Kasus penyakit malaria, ujar Hadianto, daerah ini memiliki tingkat insidensi angka kematian 1 per 1000 penduduk. Padahal sebelumnya sekitar daerah perbukitan Menoreh misalnya dikenal sebagai lokasi endemik malaria. “Sekarang sudah tidak lagi tapi untuk mengeliminasi hingga menjadi nol, saya kira juga sulit,” ujarnya.

Sementara staf pengajar dari Universitas Sains Malaysia Prof Dr Rohana yang mendampingi mahasiswanya mengapresiasi kegiatan praktik kesehatan lapangan. “Mahasiswa dapat gambaran tentang apa itu kesehatan ibu dan anak, termasuk bagaimana program penanggulangan penyakit TBC, malaria, dan eliminasi penyakit yang lain,” kata Rohana.

Menurut Rohana, sistem pelayanan kesehatan Indonesia telah dilaksanakan secara komprehensif mulai dari tingkat layanan kesehatan di Puskesmas hingga layanan rumah sakit. Berbeda dengan yang ada di Malaysia, sistem kesehatan di sana lebih diarahkan pada upaya program pencegahan. “Di Malaysia tingkat pencegahan lebih penting dari pada mengobati,” jelasnya.
Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *