YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) menambah empat profesor dari empat fakultas dan hingga kini jumlah total sebanyak 35 orang. Mereka adalah Prof Dr Ir Elisa Kusrini MT, Prof Rudy Syahputra SSi, MSi, PhD, Prof Rifqi Muhammad SE, MSc, PhD, dan Prof Nandang Sutrisno SH, LLM, PhD.
Surat Keputusan (SK) Kenaikan Jabatan Akademik keempat profesor dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemenristek) diserahkan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V, Prof Drh Aris Junaidi kepada Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, di Gedung Sardjito Kampus Terpadu UII, Rabu (21/6’/2023). Selanjutnya, SK Kenaikan Jabatan Akademik Profesor diserahkan kepada empat guru besar.
Prof Elisa Kusrini merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Rantai Pasok Fakultas Teknologi Industri (FTI). Prof Rudy Syahputra adalah Guru Besar Bidang Ilmu Analisis Elektrokimia dan Remediasi Lingkungan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Prof Rifqi Muhammad merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE). Prof Nandang Sutrisno adalah Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Internasional, Fakultas Hukum (FH).
Prof Fathul Wahid menjelaskan bertambahnya empat profesor proporsi dosen UII yang menjadi profesor sebesar 4,3%. Secara nasional, persentase profesor baru sekitar 2% dari seluruh dosen di perguruan tinggi. “Artinya, dalam konteks ini, capaian UII sudah lebih dari dua kali lipat dari rata-rata nasional,” tandas Fathul Wahid.
Lebih lanjut, Fathul Wahid mengatakan saat ini, UII mempunyai 258 dosen berpendidikan doktor, dan 65 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik lektor kepala. Mereka adalah para calon profesor karena tinggal selangkah lagi.
Saat ini, kata Fathul, beberapa usulan profesor dari UII masih dalam proses, termasuk yang sudah diproses di Jakarta. “Kita semua berdoa, semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, SK profesor lain akan juga diterima oleh UII. Ini bukan sikap tamak, tetapi ungkapan syukur, yang kita percaya akan diikuti dengan limpahan nikmat lainnya,” kata Fathul.
Dalam sambutannya, Rektor UII mengatakan label intelektualisme agak bermasalah. Sebab intelektualisme sejatinya tidak sekadar berpikir, tetapi juga mencari jalan bagaimana pemikirannya dapat diimplementasikan, dan jika mungkin, ikut terlibat langsung.
Mengutip pendapat Noam Chomsky, Fathul Wahid mengatakan intelektual mempunyai tiga peran penting. Pertama, menyampaikan kebenaran dan mengungkap kebohongan. Kedua, memberikan konteks historis. Ketiga, mengangkat tabir ideologi yang membatasi debat. “Dalam menjalankan peran sebagai intelektual publik, tentu bukan tanpa tantangan dan risiko,” kata Fathul.
Selanjutnya, mengutip Lightman, peran intelektual dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, mereka yang berbicara dan menulis kepada publik hanya tentang hal yang sesuai dengan disiplin yang ditekuninya.
Kedua, mereka yang berbicara dan menulis tentang disiplinnya dan mengaitkannya dengan aspek sosial, kultural, dan bahkan politik. Ketiga, mereka yang berkontribusi hanya ketika mendapat undangan, yaitu mereka yang menjadi simbol dan diminta berbicara dan menulis tentang isu-isu publik yang tidak harus terkait langsung dengan bidang keahlian aslinya.
Dalam kiprahnya, kata Fathul, intelektual itu dapat dibagi mejadi tiga kelompok. Kelompok pertama disebutnya sebagai intelektual yang berorientasi teknokratic dan kebijakan (technocratic and policy-oriented intellectuals) yang oleh pemegang kuasa disebut sebagai ‘orang-orang baik’ (good guys) karena
memberikan pelayanan terhadap insitusi dan kepemimpinan yang sudah mapan.
Kelompok kedua adalah intelektual yang berorientasi nilai (value-oriented intellectuals), intelektual yang berorientasi nilai. Dari kacamata penguasa, mereka adalah ‘anak nakal’ (bad guys) karena terlibat dalam analisis kritis dan juga mempertanyakan banyak hal. Kelompok ini dianggap mempunyai tanggung jawab
moral sebagai manusia terhormat yang memajukan kebebasan, keadilan, dan keadilan.
Kelompok ketiga, setiap intelektual, apapun disiplin ilmu yang ditekuninya, adalah juga manusia sebagai makhluk yang senantiasa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama (zoon politicon). Karenanya, intelektual tidak hanya mempersenjati diri dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tetapi sekaligus bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika diperlukan. (*)