JAKARTA — Pakar Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc mengungkapkan praktik sistem ekonomi Indonesia semakin menjauh dari Sistem Ekonomi Pancasila. Karena itu, revitalisasi perlu segera dilakukan agar masyarakat tidak terlalu lama menderita.
Banyak bukti sistem ekonomi yang diterapkan selama ini tidak mensejahterakan warga. Di antaranya, semakin menganganya jurang antara kaya dan miskin, masih banyaknya penduduk miskin dan menganggur, tergantungnya Indonesia pada impor kebutuhan pokok dari negara lain, dan utang luar negeri yang besar.
Edy mengemukakan hal itu pada konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (2/2/2017). Konferensi yang dibuka Presiden Joko Widodo mengangkat tema ‘Mewujudkan Amanat Konstitusi Pendidikan Nasional’ dan berlangsung Rabu-Jumat (1-3/2/2017).
Lebih lanjut Edy mengatakan sejarah ekonomi bangsa Indonesia pasca kejayaan kerajaan nusantara (Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai) lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa).
Selanjutnya, tahun 1870, perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan Indonesia melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. “Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945,” kata Edy.
Setelah kemerdekaan, lanjut Edy, walaupun semangat kemandirian dan kemerdekaan dalam berekonomi sudah digaungkan, namun realitas hingga kini ketergantungan pada luar masih sangat tinggi. “Mengapa hal demikian terjadi?” tanya Edy yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) 2008-Januari 2010.
Menurut Edy, dari sisi internal memang ada segelintir pihak, utamanya para pemburu rente (rent seekers), menikmati situasi yang demikian. Mereka diuntungkan kebijakan-kebijakan yang ada, serta regulasi yang lemah dan lebih berpihak pada kelompok ekonomi kuat, dan jauh dari nafas berkeadilan.
“Ekonomi kerakyatan lebih mengemuka sebagai jargon kampanye dari pihak-pihak yang akan menuju kekuasaan legislatif maupun eksekutif, baik di Pusat maupun Daerah. Berbagai praktik suap-menyuap kepada pejabat dan pihak-pihak yang bisa mempengaruhi pengambil kebijakan merupakan indikasi yang jelas, yang melanggengkan praktik-praktik yang menghambat tujuan ekonomi nasional untuk mensejahterakan rakyat yang berkeadilan,” kata Edy .
Sedang sisi eksternal, ujar Edy, tekanan global yang arahnya mewujudkan ideologi tunggal kapitalisme dan didukung korporasi global, lembaga-lembaga ekonomi keuangan dunia, dan negara-negara maju tidak menguntungkan Indonesia. Praktek ini telah menyeret ekonomi Indonesia mengarah pada sistem persaingan bebas dengan kendali yang longgar yang berekses pada penguasaan aset di Indonesia sangat timpang.
Situasi demikian, tandas Edy, semakin mendesak bagi Indonesia untuk merevitalisasi sistem ekonomi nasional. Sistem yang betul-betul sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa yakni nilai-nilai Pancasila.
“Karena itu, forum konvensi kampus Forum Rektor Indonesia ini diharapkan bisa secara lebih serius dan terstruktur untuk mengawal konsepsionalisasi, sosialisasi dalam bentuk pengajaran Sistem Ekonomi Pancasila di perguruan tinggi, hingga implementasinya dalam kehidupan sehari-hari Bangsa Indonesia,” tandasnya.
Kata Edy, gerakan merevitalisasi sistem ekonomi menuju implementasi sistem ekonomi Pancasila ini sejalan dengan rencana Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Presiden akan membentuk lembaga khusus di bawah Presiden yang menangani pemantapan Pancasila. Sehingga Pancasila tidak sekedar sebagai slogan yang diketahui dan dihafalkan, melainkan terimplementasi dalam pola hidup keseharian masyarakat dan bernegara.
Edy merasa optimis, ikhtiar memiliki Undang-undang tentang sistem ekonomi yang didasarkan pada Pancasila akan menjadi lebih cepat terwujud. Jika upaya ini mendapat dukungan kampus yang mengenalkan substansi tentang Sistem Ekonomi Pancasila pada seluruh mahasiswanya.
“Saat ini hampir semua perguruan tinggi tidak mengajarkan secara khusus tentang Sistem Ekonomi Pancasila (SEP), termasuk pada Fakultas Ekonomi. Ikhwal SEP hanya menjadi bagian pengajaran pada matakuliah Perekonomian Indonesia di fakultas ekonomi, dan itu pun tidak semua dosen mengajarkannya,” katanya.
Penulis : Heri Purwata