Rektor UII : Alumni Wajib Melengkapi Diri dengan Keluhuran Sikap

Fathul

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengharapkan alumni UII melengkapi diri dengan keluhuran sikap (attitude). Sebab keluhuran sikap mengandung nilai-nilai mulia.

Fathul Wahid mengemukakan hal tersebut pada Wisuda Doktor, Magister, Sarjana dan Diploma Periode III Tahun Akademik 2022/2023 di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Sabtu (28/1/2023). UII mewisuda 857 lulusan yang terdiri dari 23 ahli madia, 752 sarjana, 79 magister, dan tiga doktor. Sejak berdiri hingga kini, UII telah meluluskan lebih dari 110.000 alumni.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Fathul Wahid menambahkan akhir-akhir ini, banyak pihak yang mengeluhkan lunturnya sikap, terutama di kalangan anak muda. “Mari kita buktikan bahwa kekhawatiran itu tidak perlu terjadi. Karena para alumni UII terus menjaga konsistensi dalam berakhlak yang mulia,” kata Fathul.

Dijelaskan Fathul, akhlak merupakan kata lain dari sikap dengan cakupan yang lebih luas. Dalam akhlak terdapat unsur hubungan transendental antara makhluk dan Sang Khalik. Akhlak, makhluk, dan khalik mempunyai akar kata yang sama.

“Saya percaya, akhlak mulia bersifat menular. Kebaikan sikap Saudara di tempat berkiprah, insyaallah juga akan menjadi inspirasi bagi orang lain. Keluhuran akhlak adalah cerminan kualitas orang beriman,” kata Fathul.

Keluhuran sikap, tambah Fathul, dapat mewujud dalam banyak hal. Di antaranya, menjunjung tinggi kejujuran dalam berpikir dan bertindak, mengikhtiarkan keadilan dengan sungguh-sungguh karena tidak ingin melanggar hak, dan menghormati semua orang karena sadar bahwa semuanya setara.

Dalam konteks praktik, kata Fathul, kejujuran dapat mewujud dalam kehatian-hatian menjalankan amanah, termasuk menjauhkan diri dari praktik koruptif. Keadilan dijaga dengan menjalankan semua kewajiban dan menjaga hak liyan, termasuk hak organisasi.

Kesetaraan, kata Fathul, diwujudkan dalam banyak sikap, termasuk tidak menghinakan orang lain dan menghargai kehadirannya sepenuh hati. Mendengarkan orang lain dengan seksama juga bagian dari ini. Mendengarkan adalah aktivitas serius yang harus dilatih, dan bukan hanya aktivitas pengisi waktu ketiga menunggu giliran bicara.

“Di lapangan, kita banyak menemukan pembicara yang luar biasa, tetapi tidak siap menjadi pendengar yang baik. Sikap ini menjadi semakin penting, ketika Saudara memegang peran sebagai pemimpin,” katanya.

Menurut Fathul, ketika aspek transendental dihadirkan, maka semua itu dibingkai dengan kesadaran sebagai orang beriman yang harus konsisten di situasi apapun. Dalam Islam, hal itu disebut dengan ihsan. Orang yang menjalankan ihsan (muhsin) selalu merasa melihat Allah yang mengawasi, atau yakin jika Allah selalu merekam semua aktivitasnya.

Menjaga istikamah, kata Fathul, sangat menantang di tengah zaman ketika toleransi terhadap penyimpangan kejujuran, keadilan, dan kesetaraan, sangat longgar. Maraknya korupsi dan eksploitasi alam di negeri ini, salah satunya juga karena ini.

“Menjaga kejujuran itu gampang, jika kadang-kadang. Menegakkan keadilan itu tidak sulit, jika hanya sekal-kali. Merawat kesetaraan itu mudah, jika hanya ketika ingat saja. Yang menjadikannya menantang adalah karena semua harus dilakukan dengan istikamah,” tandasnya. (*)