Mediasi di PA Kebumen Sekedar Memenuhi Kewajiban Perma 1 Tahun 2016

Ahmad Adib (kanan atas) saat mempertahankan desertasinya secara Daring, Senin (7/12/2020). (foto : screensshotzoom/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama (PA) Kebumen, Jawa Tengah baru sekedar memenuhi kewajiban Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Hal ini disebabkan minimnya jumlah hakim yang memiliki sertifikat mediator, tidak ada mediator dari non hakim dan adanya advokad yang berambisi memenangkan perkara di Pengadilan Agama.

Ahmad Adib, Hakim PA Kebumen mengemukakan hal tersebut pada ujian terbuka dan promosi doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), secara Daring, Senin (7/12/2020). Ahmad Adib mengangkat judul desertasi ‘Penerapan Perma RI No 1 Tahun 2016 dalam Mediasi Keluarga di Pengadilan Agama Kebumen.’

Bacaan Lainnya

Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji yang terdiri Prof Dr Fathul Wahid, ST MSc PhD (Rektor UII/ Ketua Sidang), Dr Dra Junanah, MIS (Sekretaris Sidang), Prof Dr Kamsi, MA (Penguji 1), Dr Hamim Ilyas, MA (Penguji 2), Dr Dra Ulil Uswah, MH (Penguji 3). Sedang Prof Dr Amir Mu’allim, MIS sebagai promotor, dan Dr Drs Yusdani, MAg selaku Co-Promotor.

Dijelaskan Ahmad Adib, mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non litigasi. Mediasi bertujuan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator).

“Lahirnya Perma tersebut merupakan upaya untuk mengurangi beban penumpukan perkara di lembaga peradilan. Mediasi diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dibandingkan proses beracara di pengadilan,” kata Ahmad Adib.

Lebih lanjut Ahmad Adib menjelaskan tahun 2019, Pengadilan Agama Kebumen merupakan pengadilan kelas IA menerima 3.631 perkara. Jumlah hakim ada 14 orang, sehingga setiap Majelis Hakim menyelesaikan 35 perkara setiap bulan.

Selain tugas pokok tersebut, kata Ahmad Adib, hakim merangkap tugas sebagai mediator. Tidak adanya tunjangan khusus bagi mediator hakim juga menjadi hambatan.

“Proses mediasi menjadi kurang maksimal karena jumlah hakim hanya 14 orang dan hanya dua hakim yang memiliki sertifikat mediator. Sedang tuntutan penyelesaian perkara secepatnya dan kewajiban one day minute one day publish,” kata Ahmad Adib.

Selain itu, kata Ahmad Adib, ada faktor eksternal yang kurang mendukung adanya mediasi yaitu advokad. Ada dua katagori advokad yaitu mereka yang mendukung mediasi dan ada golongan yang tidak mendukung mediasi. “Advokad yang tidak menginginkan mediasi ini berorientasi bisa memenangkan kasus di pengadilan,” tandas Adib.

Berdasarkan hasil penelitian, kata Adib, pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Kebumen dan Pengadilan Agama di Indonesia lainnya, keberhasilan mediasi amatlah kecil. Karena itu, Adib menyarankan agar dilakukan tinjauan ulang tentang peran ganda hakim yang merangkap sebagai mediator.

Selain itu, Adib juga menyarankan perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga dan pengetahuan bahwa damai itu lebih indah daripada konflik. Perlu intensifikasi dari lembaga Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) terhadap setiap pihak yang akan melakukan perceraian.

“Supaya para pihak tersebut menempuh usaha damai dengan memperoleh penasehatan dari BP4. Hal ini, diperlukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Serta perlu adanya pembudayaan mediasi di tengah-tengah masyarakat,” saran Ahmad Adib.