Syawalan Trah Hamengku Buwono VII di Dalem Mangkubumen

Edy Suandi Hamid bersama kerabat Trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII. (foto : istimewa )
Edy Suandi Hamid bersama kerabat Trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII. (foto : istimewa )

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Dalem Mangkubumen yang juga Kampus Universitas Widya Mataram (UWM) menjadi tempat Syawalan Paguyuban Sapta Wandawa Trah NgDSDISKS Hamengku Buwono VII, Ahad (20/4/2025). Syawalan dihadiri GBPH Prabukusumo, Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Nitya Budaya; Irjen Pol (Purn.) Drs RM Haka Astana Mantika Widya, SH, mantan Kapolda DIY; serta sejumlah tokoh anggota Trah Hamengku Buwono VII.

Rektor UWM, Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc, mengungkapkan Dalem Mangkubumen dibangun pada tahun 1874 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Kemudian bangunan ini digunakan putranya, Pangeran Adipati Anom hingga naik tahta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Bacaan Lainnya

“Tempat ini bukan sekadar bangunan, tetapi saksi perjalanan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita,” kata Edy Suandi Hamid saat mengurai tentang Syawalan tersebut.

Syawalan, jelas Edy, memang tidak memiliki tuntunan khusus dalam Alquran ataupun syariat Islam secara eksplisit. Namun, dalam konteks Budaya Jawa dan ajaran Sunan Kalijaga, Syawalan memiliki makna yang sangat dalam. “Silaturahmi itu adalah kewajiban dalam Islam. Tradisi Syawalan menjadi sarana untuk memelihara kekerabatan dan mempererat ukhuwah,” kata Edy.

Ia juga mengingatkan pentingnya saling memaafkan sebagai bagian dari hubungan antar manusia. “Sebesar apa pun dosa manusia, ampunan Allah SWT selalu lebih besar. Namun, dalam konteks hubungan antarsesama, dosa tidak selesai hanya dengan istighfar, ada keharusan untuk saling meminta dan memberi maaf. Inilah yang diikrarkan dalam Syawalan,” tambahnya.

Budaya Syawalan atau halal bi halal, terutama dilakukan dalam ikatan nasab atau keluarga, merupakan wujud akulturasi dan asimilasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal. “Terlebih lagi jika dilakukan di tempat yang secara historis sangat berarti, seperti Dalem Mangkubumen yang pernah dihuni oleh Sri Sultan HB VII. Ini menjadi simbol pertemuan antara nilai leluhur dan kebijaksanaan spiritual,” kata Edy.

Edy mengutip pemikiran filsuf besar, Imam Al-Ghazali, hal yang paling berat di dunia ini adalah menerima amanah. Karena itu, wajib menjaga amanah sesuai kemampuan dan jangan melakukan sesuatu di luar pengetahuan yang dimiliki.

“Hal yang paling dekat dengan kita di dunia ini adalah kematian. Maka selama kita masih diberi waktu untuk berkumpul, berbuat baiklah kepada sesama. Dan yang paling indah di dunia ini adalah saling memaafkan, sebagaimana makna silaturahim yaitu silah berarti hubungan, rahim adalah kasih sayang,” kata Edy. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *