Sri Haningsih, Dosen yang Cetak Mahasantri Melalui Ponpes Rintisannya

Dra. Sri Haningsih M.Ag. pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Al Hidayah, Jalan Kaliurang km 12, Sleman (foto: istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET – Dra. Srihaningsih, M.Ag, wanita kelahiran Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Puluhan tahun silam memutuskan merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Dengan semangat dan ikhtiarnya, ternyata Tuhan memberikan kesempatan menempuh jenjang program sarjana di Prodi Tarbiyah, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu, Tuhan terus memberikan kemudahan kepada Sri Haningsih. Setelah menamatkan studi di UII, beberapa waktu kemudian dipercaya mengajar di kampus yang sama. Sri Haningsih akhirnya resmi menjadi Dosen UII sejak tahun 1992. Jalan kemudahan terus diraih, di Yogya juga Sri Haningsih menemukan jodohnya, bersuamikan seorang ASN dari Kementerian Agama RI, hingga memutuskan menetap di daerah ini.

Menambatkan karir sebagai dosen UII ternyata mampu membangkitkan semangat mengembangkan mutu pendidikan di perguruan tinggi dan pondok pesantren (ponpes). Banyak karya tulis dan penelitiannya fokus pada tema mutu pendidikan, tak luput juga tentang pondok pesantren.

Dari observasi dan penelitian di berbagai tempat, akhirnya memantapkan Sri Haningsih mendirikan Pondok Pesantren Al Hidayah, yang berlokasi di  Jalan Kaliurang km 12, Dusun Sardonoharjo, Ngaglik Sleman. Semangat mendirikan pondok pesantren khusus putri, sebenarnya juga bagian dari dari mewujudkan niat mulia almarhum ayahnya, yang ingin mendirikan pondok pesantren.

Keseriusan Sri Haningsih mengembangkan pondok pesantren, merumuskan berbagai indikator mutu yang saat ini mulai diterapkan. Dengan alasan itu, Sri Haningsih pun membuka pintu khusus mahasiswi sebagai santrinya. Dalam pemikiranmya, kualitas input juga berpengaruh terhadap output, sehingga mahasiswi adalah targetnya. Menurutnya, ini bagian dari nilai tambah, daripada mahasiswa tinggal di kos-kosan yang lingkungannya mendorong pada pergaulan bebas, lebih baik dititipkan di pondok pesantren. Siang hari kuliah di perguruan tinggi, malam menjadi santri pondok pesantren, akan meningkatkan nilai tambah seorang muslimah. Dari sinilah, Sri Haningsih milau sering menggunakan mahasantri, karena merupakan mahasiswa yang juga nyantri di Pondok Pesantren Al Hidayah.

Menerawang resiko salah pergaulan remaja, menjadikan Sri Haningsih memberikan metode pendidikan yang inovatif di pondok pesantrennya. Niatnya,  agar mampu menjadi benteng pergaulan bagi mahasantrinya, mana yang baik dan buruk bagi masa depan mahasantri setelah lulus. Dimulai dari penerapan perilaku islami mahasantri sejak bangun tidur sebelum adzan subuh hingga malam sebelum tidur.

Sri Haningsih telah lama mengkaji dalam berbagai karya dan penelitian tentang mutu pendidikan, juga keterkaitan dengan dampak pergaulan bebas saat ini. Dampak buruk pergaulan, membuat esbanyak orangtua gelisah ketika ingin mengirim anaknya kuliah ke luar kota. Dari sinilah, Sri Haningsih yakin, bahwa konsep Pondok Pesantren Al Hidayah dengan mahasantrinya, akan  menjadi solusi dari kegelisahan tersebut.

Ketika mahasantri mampu membedakan baik dan buruk bagi masa depannya, diharapkan akan lebih fokus pada pendidikan di dua kutub. Kutub pendidikan perguruan tinggi dan kutub pondok pesantren. Dalam pandangannya, muslimah dengan penguasaan dasar keilmuwan dan kebiasaan positif selama di pondok pesantren, akan mampu meningkatkan motivasi dirinya terus menerus menjadi lebih baik. Selain sukses menjadi meraih ilmu dari perguruan tinggi, juga berhasil meraih ilmu pondok pesantre menuju pribadi yang mampu memanajemen dirinya sendiri dalam segala kondisi di masa mendatan.

Sri Haningsih diuntungkan atas keputusannya memilih segmen mahasiswi sebagai santri, karena letak pondok pesantren yang tidak jauh dari Kampus UII, juga kampus lain di sekitarnya. Saat ini Sri Haningsih mulai dapat menangkap capaian atas Indikator keberhasilan pola pendidikan di ponpes Al Hidayah, setidaknya beberapa mahasantri setelah lulus sarjana, kembali lagi ke pondok pesantrennya, menjadi mahasantri sambil menempuh pendidikan jenjang magister.

Sri Haningsih berhadap dengan memperkuat integrasi keilmuwan dan interkoneksi antar 2 pola pendidikan di perguruan tinggi dan pondok pesantren, juga mempertajam kepekaan sosial dengan pembentukan akhlak mahasantri.

Sri Haningsih libatkan ibu rumah tangga sekitar pondok pesantren untuk menjadi laboratorium dakwah bagi mahasantri. Juga mengukur sejauh mana kemampuan mahasantri mampu memberikan dampak kebaikan kepada masyarakat sekitar. Rumusan pembentukan akhlakul karimah  bagi bekal mahasantri, agar seumur hidup mampu berkoneksi dengan baik, menjaga hubungan sangat baik bagi sesama manusia dan dengan Tuhannya.

Pembelajaran memahami kitab kuning, menjadi salah satu upaya untuk membentuk fikih secara murni di Ponpes Al Hidayah. Sri Haningsih menganggap kitab kuning menjadi sumber rujukan ilmu, sehingga mahasantri akan mampu berilmu amaliah dan beramal ilmiah.

Sri Haningsih terus berupaya meluangkan waktu untuk mencari peluang perbaikan di pondok pesantrennya. Harapannya, visi misi tentang akhlak mahasantrinya,  mampu diwujudkan dengan ilmu dan pembiasaan. Dari lingkup terkecil dimulai dari pembiasaan menjaga lingkungannya. Semata mengajarkan belajar tanggungjawab. Kebiasaan lain yang diajarkan Sri Haningsih kepada mahasantri, misal mengembangkan rutinitas untuk mendoakan orangtuanya, semata karena banyak orangtua berharap akan selalu didoakan anaknya.

Sri Haningsih berharap dapat selalu konsisten menerapkan metode pendidikan yang inovatif di pondok pesantren dengan harapan perluasan kompetensi mahasantri. Baginya, upaya mencetak mahasantri yang visioner, merupakan cara membangun bangsa ini menjadi lebih baik, terutama mengimbangi dampak kemajuan teknologi.

Selama ini, pendidikan karakter juga diisi dengan melatih tanggungjawab seorang mahasantri. Gambaran tangggungjawab di masa mendatang diurai secara gamblang di Ponpes Al Hidayah. Harapannya, lulusan ponpes mampu memanajemen diri sendiri ketika menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu dan juga seorang pendidik bagi lingkungannya, membangun keluarga Islami. (IPK)