YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Prof Dr Susetyowati, DCN, MKes, Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM mengembangkan alat skrining gizi untuk mencegah malnutrisi pasien rumah sakit. Alat yang dikembangkan diberi nama Simple Nutrition Screening Tool (SNST).
Susetyowati menjelaskan pola kerja alat skrining ini sangat sederhana dan penggunaannya hanya dalam waktu kurang dari lima menit. “Alat skrining gizi ini tanpa pengukuran antropometri yang menjadi hambatan selama ini dan dapat dilakukan dengan waktu yang singkat yaitu 3-5 menit,” kata Susetyowati.
Susetyowati mengemukakan hal tersebut pada pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Gizi Kesehatan FKKMK di ruang Balai Senat UGM, Selasa (7/5/2024). Memang ironis, pasien dalam perawatan rumah sakit namun bisa terjadi malnutrisi. “Malnutrisi masih menjadi salah satu isu yang dihadapi tenaga kesehatan di rumah sakit. Angka malnutrisi yang ada di rumah sakit masih tergolong tinggi, terutama pada negara berkembang,” kata Susetyowati.
Susetyowati menjelaskan malnutrisi diartikan sebagai kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan zat gizi yang bisa menghasilkan efek tidak baik pada komposisi tubuh, fungsi, dan outcome klinis. Karena itu, diperlukan skrining gizi untuk mendeteksi malnutrisi untuk mencegah penurunan kondisi gizi pasien selama perawatan di rumah sakit.
Menurut Susetyowati, ada beberapa penyebab malnutrisi di rumah sakit. Di antaranya, penyakit yang mendasari dan dapat mempengaruhi peningkatan kebutuhan basal yang disertai dengan rendahnya asupan makan, penurunan kemampuan bioavailabilitas zat gizi atau seberapa banyak zat gizi dari makanan yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh.
Menurutnya, skrining gizi sangat perlu dilakukan pada semua pasien rawat inap bertujuan untuk memprediksi probabilitas membaik atau memburuknya outcome yang berkaitan dengan faktor gizi dan mengetahui pengaruh intervensi gizi. “Kehilangan berat badan, indeks massa tubuh, dan kurangnya asupan makanan merupakan elemen utama dalam mendefinisikan malnutrisi,” ujar Susetyowati.
Selama ini munculnya kasus malnutrisi di rumah sakit disebabkan oleh kurangnya pengukuran dan pencatatan rutin tinggi serta berat badan, dan kurangnya keterampilan menilai status gizi dengan antropometri dan biokimia. “Kekurangan ini membuat catatan pada rekam medik terkait monitoring asupan makan pasien berkurang sehingga asupan gizi sebagian besar tidak terdeteksi dan tidak dilakukan monitoring status gizi secara rutin,” paparnya.
Alat skrining gizi SNST yang dikembangkan Susetyowati menggunakan enam pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup apakah pasien terlihat kurus?; apakah pakaian terasa lebih longgar?; apakah ada kehilangan berat badan tidak sengaja dalam 3-6 bulan terakhir?; apakah mengalami penurunan asupan makan selama seminggu terakhir?; apakah merasa lemah, loyo, dan tidak bertenaga?; serta apakah menderita penyakit yang mengubah jumlah atau jenis makanan yang dikonsumsi.
Susetyowati menerangkan alat skrining gizi SNST yang dikembangkan telah dibandingkan dengan skrining gizi yang lain dan sudah terbukti valid serta reliabel. “Alat skrining SNST memiliki nilai yang sama dengan alat skrining lainnya,” katanya. (*)