MGB UII Gelar Webinar ‘Kontroversi Tes PCR – Bisnis atau Krisis’

Prof Widodo saat menymapaikan sambutan pembukaan Webinar ‘Kontroversi Tes PCR - Bisnis atau Krisis’ Kamis (18/11/2021). (foto : screenshotyoutube/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Majelis Guru Besar Universitas Islam Indonesia (MGB UII) Yogyakarta, Kamis (18/11/2021), menggelar webinar ‘Penanganan Pandemi Covid-19: Kontroversi Tes PCR – Bisnis atau Krisis.’ Webinar menghadirkan keynote speaker, Prof Dr Moh Mahfud MD, SH, SU, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia dan Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia.

Sedang pembahas Dr Guntur Syahputra Saragih, MSM, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Tulus Abadi, SH, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Drs Agus Triyanta, MH, MA, PhD, Dosen Fakultas Hukum UII. “MGB merupakan instrumen di UII, karena itu ingin berpartisipasi ke dalam hal yang sifatnya berhubungan dengan nilai kebangsaan,” kata Prof Ir Widodo MSCE, PhD, Ketua MGB UII.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Prof Widodo mengatakan sejak Oktober 2021, perjalanan menggunakan alat transportasi udara diwajibkan dengan tes PCR (polymerase chain reaction) dengan harga yang cukup tinggi. Kebijakan ini menuai pro dan kontra di masyarakat, ada yang setuju dan tidak setuju.

Karena itu, kata Widodo, MGB UII menggelar webinar ini sebagai langkah tabayyun untuk melakukan check and recheck terhadap persoalan tersebut. “Kita mencari kebenaran duduk persoalan, bukan bertujuan mempolitisir,” jelasnya.

MGB UII, tambah Widodo, ingin melakukan kajian obyekti, akademis mengenai hal-hal yang berhubungan dengan PCR. “Harapan kita persoalan menjadi jelas, tidak menjadi rumor atau pergunjingan yang menghabiskan energi yang tidak bermanfaat,” tandas Widodo.

Sedang Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengatakan masyarakat menilai pengambilan keputusan tes PCR tidak jelas atau transparan. Sehingga publik mempertanyakan keputusan pemerintah tersebut.

Selain itu, kata Fathul, kehadiran internet membuat pemberitaan dari berbagai belahan dunia tentang PCR dapat diakses dengan mudah. Sehingga publik bisa memandingkan harga PCR di negara lain dan Indonesia. Karena itu, webinar ini berupaya untuk menguak apakah benar pejabat masih berbisnis?

Sementara Mahfud MD mengungkapkan ketika Covid-19 masuk Indonesia, semua panik karena masker, alat pelindung diri (APD), disinfektan tidak ada. Obat juga belum jelas, karena ini penyakit baru. Bahkan rumah sakit tidak mau menampung pasien Covid-19.

“Rumah sakit banyak, tetapi menolak pasien Covid-19. Karena kalau menerima pasien Covid, pasien lain tidak datang ke sana. Dianggap, covid itu penyakit berbahaya,” kata Mahfud.

Orang kena Covid-19, kata Mahfud, dijauhi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Melalui televisi saya melihat penguburan Prof Dr Iwan Dwi Prahasto, M Med Sc, PhD, pembantu Rektor I UGM. Dia merupakan orang pertama yang kena covid dari kalangan profesor.

“Ketika dikuburkan keluarganya jauh sekali dari lubang penguburan, tampak hanya ada tiga petugas yang mengenakan APD untuk menguburkannya. Karena saat itu, covid itu sangat mecekam. Teror dan horor covid itu,” katanya.

Di sisi lain, ada sebagian masyarakat tidak percaya adanya Covid. Di kalangan dokter juga ada yang percaya dan tidak adanya covid. Agama saling bertentangan antar pemeluk, bahkan sampai hari ini.

Menghadapi kondisi ini, jelas Mahfud, pemerintah melakukan langkah-langkah penanggulangan. Pertama, tanggal 31 Maret 2020, pemerintah mengeluarkan Keppres nomor 20 Tahun 2020 yang isinya Indonesia telah masuk daerah bencana non alam yaitu Covid-19.

Kemudian disusul dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, isinya menaikan anggaran APBN untuk penanganan Covid. “Kenapa memakai Perppu, karena di dalam undang-undang Keuangan RI dikatakan pemerintah akan dikatakan melanggar hukum kalau defisit anggaran lebih dari 3 persen,” kata Mahfud.

Dijelaskan Mahfud, adanya Covid, diperkirakan defisit anggaran akan lebih besar dari 3 persen. Sehingga dibutuhkan anggaran khusus yang keputusannya dibuat dalam waktu pendek, tidak melalui persetujuan dari DPR sehingga dikeluarkan Perppu.

Kedua, pemerintah membuat kebijakan membuat KPCPEN (Komite Pemulihan Penanggulangan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional). Maksudnya, pada saat itu masyarakat diminta WFH, tiga bulan ekonomi ambruk. Penanggulangan Covid harus sejajar dengan pemulihan ekonomi.

Sehingga Presiden mengimbau perusahaan-perusahaan membuat produk untuk pengobatan. Mau beli di luar negeri tidak ada uang. Kemudian UGM menemukan Genose, Unair membuat lima ramuan obat, Unpad, ITB semua membuat obat. Di masyarakat muncul industri masker yang terbuat dari kain batik, kain biasa dan lain-lain.

“Itu semua program untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat. Dan dari situ muncul perusahaan-perusahaan yang mengimpor obat dari luar untuk membantu masyarakat. Kemudian muncul tuduhan bisnis pejabat,” kata Mahfud.

Pada saat itu, jelas Mahfud, pemerintah sedang sangat panik sehingga ada seruan seperti itu. Orang atau perusahaan yang impor dibebaskan pajaknya. “Bahkan ada perusahaan meminta memo dari saya untuk mengimpor obat sebanyak 10 juta, tetapi yang dibagikan hanya 100 biji. Di dunia perdagangan gelap itu banyak,” tandasnya.

Dalam kondisi darurat, Mahfud mengajak masyarakat agar melihat hukum itu ketika saat dikeluarkan. Harus melihat konteksnya. “Dalam kasus Covid-19, hukum dibuat untuk membantu masyarakat agar bisa cepat tertolong,’ ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *