UII Wisuda 570 Lulusan, Belum Undang Orang Tua

Rektor UII saat memindahkan kucir sebagai tanda wisuda di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Yogyakarta, Sabtu (28/5/2022). (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 570 lulusan Periode V Tahun Akademik 2021/2022, Sabtu (28/5/2022). Sebanyak 475 lulusan dilakukan secara luar jaringan (Luring), dan 95 lulusan dilaksanakan secara virtual atau dalam jaringan (Daring). Wisuda Luring ini tidak mengundang orangtua atau wali lulusan karena kondisi belum memungkinkan.

“Mohon maaf, wisuda kali ini masih belum didampingi orang tua tercinta karena pandemi belum sepenuhnya sirna. Semoga di waktu mendatang, keadaan semakin memungkinkan, dan wisuda dapat dijalankan seperti sedia kala sebelum pandemi. Kita berikhtiar dan berdoa bersama,” kata Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD. 

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Fathul mengatakan 570 lulusan, terdiri 12 ahli madia, 498 sarjana, 59 magister, dan satu orang doktor. Mereka adalah anak panah UII yang melesat, untuk menebar manfaat dan menghadirkan maslahat. “Relevansi kehadiran UII di tengah mayarakat, salah satunya ditentukan oleh kiprah para alumninya yang hebat. Karenanya, kami tidak berhenti bermunajat kepada Allah Yang Maha Kuat, semoga UII senantiasa dimudahkan berkhidmat untuk kemajuan umat,” kata Fathul Wahid.

Fathul Wahid berpesan, setelah wisuda, sebagian besar lulusan akan memasuki dunia berkarya. Ada beragam pilihan, bekerja di perusahaan atau lembaga yang sudah ada, membuka usaha mandiri, atau meneruskan studi. Ini adalah soal pilihan personal dengan kemantapan hati dan argumen masing-masing. Tak seorang pun bisa memaksakannya. Ini adalah soal pembagian tugas peradaban, yang saling melengkapi. 

“Ketika menjalankan beragam peran tersebut, kecakapan kepemimpinan (leadership) sangat penting. Namun, pada sambutan yang singkat ini, izinkan saya berbagi sebuah perspektif tentang sebuah isu terkait kepemimpinan yang jarang dibahas, yaitu kepengikutan (followership),” katanya. 

Fathul mengilustrasikan seorang lulusan seperti Youtuber atau Selebgram. Siapa yang membuat para Youtuber atau Selebgram dianggap berhasil? Beragam jawaban mungkin muncul, tapi Fathul yakin semuanya sepakat: salah satu yang terpenting adalah pengikut (follower). Atau lebih tepatnya adalah pengikut yang efektif: mereka aktif dan sekaligus independen. 

“Bayangkan, jika para pengikut tersebut pasif dan mudah dipengaruhi untuk pindah ke lain hati, keberadaannya tidak akan banyak membantu para Youtuber atau Selegram tersebut untuk mendapatkan penghasilan, karena tidak ada keterlibatan (engagement) dari pengikutnya. Atau, bisa jadi, keberadaannya, justru membuat gaduh dengan beragam umpan balik yang tidak diinginkan,” jelas Fathul.

Dalam berorganisasi atau komunitas juga seperti itu. Kepemimpinan tanpa kepengikutan yang efektif tidak akan berjalan dengan baik. Pemimpin atau pengikut adalah soal pembagian peran yang komplementer dan sekaligus temporer. Bisa berubah kapan saja. Seorang pemimpin di sebuah konteks, bisa menjadi pengikut di konteks yang lain. Begitu sebaliknya. Karenanya, penting untuk melihat bahwa kedua peran ini sejajar dan dinamis. Kedua peran ini harus dapat dimainkan dengan baik.
 
“Ada kalanya, ketika dalam posisi pemimpin, kita harus sadar akan semua sikap yang harus diambil. Salah satunya adalah membuat bingkai, dengan beragam inisiatif, termasuk menunjukkan jalan, mengumpulkan sumber daya, mengetahui dan memitigasi risiko, menunjukkan komitmen untuk mencapai misi, mendorong keragaman informasi yang masuk, menghargai kontribusi, dan memperjelas wilayah kerja. Pemimpin yang baik harus meyakini bahwa dia memiliki pengikut yang hebat,” tandasnya. 

Di sisi lainnya, tambah Fathul, pengikut akan melengkapi dengan menjalankan beragam aksi. Di antaranya, memahami apa yang dicari, mengetahui dengan tepat waktu yang dipunyai, berkolaborasi dengan yang lain, menghargai ide orang lain, dan dapat diandalkan. 

Namun ada satu poin penting yang harus dilakukan pemimpin dan pengikut yaitu inovasi. Inovasi merupakan kreativitas yang terjual atau diterima untuk digunakan. Karena itu, berpikir di luar kelaziman (thinking outside the box) menjadi suatu keharusan. (*)