UGM dan Universitas Melbourne Bahas Tantangan Perubahan Sosial Politik

AIC
Konferensi AIC di UGM Yogyakarta, Rabu-Kamis (5-6/7/2023). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Situasi sosial politik Indonesia dan Australia sedang hangat. Indonesia sedang mempersiapkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sedang Australia mempersiapkan Referendum 2023 untuk mengakui Penduduk Aborigin dan Kepulauan Selat Torres dalam Konstitusi.

Kedua negara sedang menghadapi tantangan perubahan sosial politik yang hampir sama. Yakni, soal kesetaraan dan keadilan sosial, serta mengejar inovasi dan kepemimpinan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih setara dan inklusif di masa mendatang.

Bacaan Lainnya

Hal itu menjadi pembahasan dalam Konferensi Australia-Indonesia in Conversation (AIC) 2023 di UGM Yogyakarta, Rabu-Kamis (5-6/7/2023). Konfersi ini diselenggrakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) bekerjasama dengan The Faculty of Arts, The University of Melbourne, Australia.

Dekan Fisipol UGM, Dr. Wawan Mas’udi mengatakan konferensi ini merupakan peringatan sepuluh tahun kerja sama antara Fisipol UGM dan The Faculty of Arts, The University of Melbourne. “Selama bertahun-tahun, kedua institusi telah terlibat erat dalam berbagai kegiatan termasuk penelitian bersama dan publikasi ilmiah, pertukaran pelajar dan akademik, serta kelas bersama,” kata Wawan.

Setiap tahun atau dua tahun, kata Wawan, kedua fakultas ini melakukan berbagai diskusi dengan tema yang beragam. Pada tahun 2021 sebelumnya dilakukan diskusi tentang perubahan iklim dan keberlanjutan. Konferensi kali ini mendiskusikan soal “Menghargai Demokrasi dan Keberagaman: Kesetaraan, Kepemimpinan dan Keadilan Sosial”.

Hasil pemikiran dari konferensi yang melibatkan pakar dari kedua universitas ini menurut Wawan bisa memberikan masukan dan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan. Selain itu, juga diharapkan dapat semakin memperkuat kerja sama kedua kampus di bidang pendidikan dan riset terutama pembukaan program joint program dan dual degree serta mendorong mobilitas dosen dan mahasiswa.

Sedang Wakil Dekan Fakultas Seni, Universitas Melbourne, Australia, Prof Rachael Diprose, mengatakan kolaborasi penelitian para mahasiswa Doktoral dan para staf antara kedua kampus sebelumnya makin memperkaya para akademisi di Australia dengan pengetahuan dan pengalaman masing-masing.

“Kami berharap konferensi ini berkontribusi pada upaya untuk terus merayakan demokrasi dan keberagaman serta menekankan pentingnya kepemimpinan inklusif dalam membangun jalur yang lebih adil bagi semua orang di kedua negara,” kata Rachael.

Menurut Rachael, Australia dan Indonesia menghadapi tantangan dalam merespons perubahan politik yang muncul serta isu-isu seputar kesetaraan dan keadilan. Hal ini telah terbentuk oleh dinamika historis dan peristiwa-peristiwa kontemporer.

“Namun, ada inovasi dan kepemimpinan yang signifikan yang dapat kita pelajari dari cara para pembuat kebijakan, pelaku dan aktivis masyarakat sipil, sektor swasta, dan para peneliti di Australia dan Indonesia berusaha untuk menghargai demokrasi dan keragaman,” ujarnya.

Rachael berharap konferensi ini dapat berkontribusi pada dialog interdisipliner tentang isu-isu yang dibahas. “Dialog antara para peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi, dan dialog antara Australia dan Indonesia tentang bagaimana membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik, yang berkontribusi pada kesejahteraan semua orang,” katanya. (*)