SPI UII Menjaga Kualitas Pemikir Islam

Pembukaan SPI UII melalui Daring, Rabu (12/8/2020). (foto : FB PSI UII)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Di era digital, kharisma ustad, ustadzah dan guru ngaji hilang. Belajar agama offline telah tergantikan oleh media sosial, sehingga ustad dan ustadzah online lebih populer ketimbang yang offline. Walaupun mereka tidak jelas asal mula di mana belajar agama.

“Instagram, YouTube, Video Podcast dan sejenisnya menjadi guru utama belajar agama,” kata Dr Zuly Qodir, Ketua Umum Asosiasi Program Studi Pemikiran/Politik Islam pada Pembukaan dan Orientasi Umum Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Angkatan IV secara dalam jaringan (Daring) di Yogyakarta, Rabu (12/8/2020).

Bacaan Lainnya

SPI diselenggarakan Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Didukung Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Agama Islam (MIAI) dan Doktor Hukum Islam (DHI) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII. Peserta SPI ada 103 dari berbagai latar belakang yaitu mahasiswa, dosen, guru, penyuluh agama, wiraswasta, pengawai negeri sipil, pegawai swasta, dan hakim.

Pembukaan SPI Angkatan IV mengangkat tema ‘Islam Kebangsaan dan Peran Pemuda Milenial di Era Pandemi’. Pembukaan dilakukan Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD dan menghadirkan pembicara Dr Zuly Qodir dan Edi Safitri, SAg, MSI, Direktur SPI UII.

Lebih lanjut Zuly Qodir mengataka di era digital, ahli agama telah digantikan mereka yang rajin mengunggah video dan muncul di media sosial. Padahal mereka tidak jelas asal usulnya belajar agama. “Kini saatnya, untuk memikirkan kembali pemikiran keislaman klasik,” kata Zuly Qodir yang juga Ketua Prodi Politik Islam – Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Sedang Fathul Wahid mengatakan dalam masyarakat banyak berkembang tentang perspektif Islam. Berikut perspektif Islam yang diperoleh dari mesin entri : Islam inklusif (di mesin pencari ditemukan 19.000 entri), Islam pribumi (7.660), Islam puritan (9.400), Islam moderat (204.000), Islam rasional (24.900), Islam rahmatan lil alamin (349.000), Islam syari’at (37.700), Islam transformatif (16.500), Islam liberal (251.000), Islam pluralis (7.110), Islam kebangsaan (42.400), Islam berkemajuan (70.300), dan Islam nusantara (2.030.000).

“Angka entri di mesin pencari “hanya” untuk memberikan gambaran bahwa konsep tersebut nyata dan dikembangkan. Konsep tersebut terdokumentasi, dilantangkan, atau mewujud dalam bentuk kajian serius, seperti disertasi, jurnal ilmiah, buku, dan bahkan sebuah gerakan kolektif,” kata Fathul Wahid.

Menurut Fathul Wahid, pertentangan tersebut bisa mewujud dalam beragam bentuk, mulai keenggaan berkomunikasi, ketidakmauan bekerjasama, sampai saling menyindir, saling merundung, saling menghinakan, dan bahkan mengkafirkan. “Hal yang terakhir ini sudah melampaui kewenangan manusia, dan menjadi Tuhan, karena sudah mengkapling surga dan neraka untuk manusia,” katanya.

Jika ini yang terjadi, kata Fathul, akan sulit membayangkan berapa banyak energi umat yang terbuang, karena sangat luar biasa. Sebaliknya, jika titik temu (kalimah sawa) dapat diikhtiarkan bersama, saya termasuk yang yakin, umat akan mengumpulkan energi melimpah untuk maju. Karena itu, perlu membangun semangat ko-eksistensi, hidup bersama berdampingan dan saling menghargai.

“Pesan agama Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, sangat jelas: kita dilarang mengolok-olok kelompok lain, karena bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik (QS Al-Hujurat 49:11),” tandasnya.

Sementara Edi Safitri mengatakan membangun peradaban Islam rahmatan lil alamin membutuhkan banyak tiang penyangga, salah satunya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa dihasilkan melalui proses berpikir (tafakkur) sampai merasakan keagungan Alloh. Selain itu, melakukan refleksi pengalaman (taddabur) sehingga merasakan kekuasaan Alloh. Serta kegiatan dan amal-amal untuk selalu mendekatkan kepada Alloh (tadzakkur).

Ilmu pengetahuan bisa berupa hasil pembacaan tanda Allah pada kitab suci (ayat qauliyah) atau pada tanda Allah yang tersemat pada alam semesta (ayat qauniyah). Tradisi ilmu pengetahuan, dari satu generasi ke generasi, harus dirawat dengan berbagai cara seperti melestarikan, mengembangkan, dan mensistematiskan melalui kursus, pelatihan, diskusi, seminar, dan sebagainya.

Pelestarian ilmu pengetahuan keislaman melaluii teologi, fiqh-ushul fiqh, akhlak-tasawuf, filsafat Islam. Tradisi tersebut dibangun secara proses terus menerus yang dilakukan dengan konsistensi (istiqomah).

“Pusat Studi Islam (PSI), terus berusaha mengambil peran pengembangan ilmu pengetahuan keislaman dan menjaga konsistensinya melalui suatu program Sekolah Pemikiran Islam (SPI),” kata Edi Safitri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *