Sistem Shift Bisa Percepat Proyek Bangunan

Fitri Nugraheni PhD, dosen FTSP UII Yogyakarta, Sabtu (3/12/2016). (foto : heri purwata)
Fitri Nugraheni PhD, dosen FTSP UII Yogyakarta, Sabtu (3/12/2016). (foto : heri purwata)
Fitri Nugraheni PhD, dosen FTSP UII Yogyakarta, Sabtu (3/12/2016). (foto : heri purwata)

SISTEM SHIFT kerja, selama ini banyak diterapkan pada lembaga atau institusi yang membutuhkan pelayanan atau penanganan selama 24 jam. Seperti, rumah sakit, pabrik, perusahaan, toko-toko jejaring, pelabuhan, stasiun, bandar udara dan lain-lain.

Namun kini sistem shift kerja juga dapat diterapkan pada penyelesaian proyek bangunan. Fitri Nugraheni PhD dan Abdul Hakim Fadhillah, Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) yang melakukan penelitian penerapan sistem shift untuk menyelesaikan proyek bangunan.

Bacaan Lainnya

“Bisa lebih cepat 38,59 persen dibandingkan dengan penyelesaian proyek bangunan tanpa menggunakan sistem shift. Selain itu, juga lebih irit dalam pembiayaannya,” kata Fitri Nugraheni kepada jogpaper.net di Kampus FTSP UII Yogyakarta, Sabtu (3/12/2106).

Sistem shift adalah suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan. Sistem ini digunakan sebagai suatu cara yang paling mungkin untuk memenuhi semakin meningkatnya permintaan barang-barang produksi. Sistem ini dipercaya mampu meningkat produktivitas suatu perusahaan yang mengggunakannya.

Sistem shift yang banyak digunakan di Indonesia adalah pengaturan jam kerja secara bergilir dengan pola 5-5-5. Artinya, lima hari shift pagi (08.00-16.00), lima hari shift sore (16.00-24.00) dan lima hari shift malam (24.00-08.00) diikuti dengan dua hari libur pada setiap akhir shift.

Dijelaskan Fitri, penerapan sistem shift dalam penelitiannya menggunakan dua shift. Pertama pukul 08.00 -16.00 dan kedua pukul 16.00 – 24.00. Setiap shift mengalokasikan waktu kerja selama delapan jam. Untuk shift kedua, para pekerja membutuhkan penerangan sehingga hal ini menambah beaya pelaksanaan proyek.

Selain itu, lanjut Fitri, rate upah shift malam lebih tinggi dibandingkan dengan upah pada shift pertama. Upah untuk shift malam diterapkan 1,5 kali rate upah pada siang hari. “Meskipun lebih tinggi upahnya, tetapi sistem shift masih lebih menguntungkan dibanding sistem lembur,” kata Fitri.

Sistem lembur memang bisa mempercepat penyelesaian pekerjaan proyek bangunan. Namun ada beberapa kelemahan di antaranya, rate upah sistem lembur yang membenani pelaksana proyek. Rate upahnya, untuk dua jam pertama sebesar 1,5 kali upah siang hari dan dua jam kedua dua kali upah siang hari. “Namun pekerja yang lebur ini tidak bisa bekerja maksimal, karena mereka sudah bekerja sejak pagi hari. Sehingga saat lembur, mereka sudah penat,” katanya.

Sistem shift tidak dapat diterapkan pada seluruh pekerjaan proyek bangunan. Namun sistem shift cocok diterapkan pada pengerjaan struktural bangunan yaitu pondasi, kolom dan rangka atap. “Sedangan pekerjaan finishing tidak cocok menggunakan sistem shift,” tandasnya.

Penelitian ini, kata Fitri, mengambil Studi Kasus pada Proyek Pembangunan Perumahan Green Hills, Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan durasi awal proyek yang semula dijadwalkan selama 171 hari. Namun menggunakan sistem shift kerja mampu dipercepat (crashing) menjadi 105 hari atau lebih cepat 38,6 persen dari durasi awal.

Percepatan ini, kata Fitri, memang menyebabkan biaya langsung proyek meningkat. Semula anggaran sebesar Rp 346.661.948,93, menjadi Rp 349.820.635,73 atau naik sebesar 0,91 persen. “Namun karena durasi proyek setelah crashing lebih singkat dari durasi normal, maka biaya tidak langsung menjadi turun. Semula Rp 51.999.292,34 menjadi Rp 31.929.390,03 turun sebesar 38,59 persen. Sehingga biaya total proyek setelah crashing menjadi Rp 381.750.025,76 yang semula Rp 398,661,241.27 turun sebesar 4,2 persen,” jelas Fitri.

Penelitian ini, kata Fitri, dilatarbelakangi semakin meningkatnya kebutuhan tempat tinggal dan perkembangan bisnis properti khususnya bidang perumahan. Kebutuhan rumah di Indonesia tinggi, sedang jumlah pembangunan rumah pertahunnya belum mampu untuk mengatasi kebutuhan rumah tersebut (backlog).

Proyek perumahan merupakan proyek konstruksi yang memerlukan manajerial yang baik agar pelakasanaannya berjalan sesuai rencana. Setiap proyek mempunyai deadline atau batas waktu akhir pengerjaan proyek tersebut. Namun banyak faktor yang dapat menghambat selesainya durasi proyek sehingga proyek menjadi tidak on schedule. Di antaranya, faktor cuaca, peralatan, bahan dan tenaga kerja.

Sehingga proyek membutuhkan percepatan. Salah satu metodenya, dengan sistem shift. Penerapan metode ini diharapkan durasi proyek dapat dipercepat, dan biaya dapat ditekan seminimal mungkin. “Sistem ini juga cocok untuk proyek-proyek pemerintah yang biasanya, turunnya dana sangat mepet dengan penyusunan laporan keuangan,” katanya.

Penulis : Heri Purwata