Seorang Dai Raih Doktor Hukum Islam di UII

Waris Fahrudin saat ujian terbuka promosi doktor di Prodi DHI FIAI UII Demangan, Yogyakarta, Selasa (24/11/2020). (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Waris Fahrudin (52) yang berprofesi sebagai dai, berhasil meraih gelar doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (Prodi DHI FIAI UII) Yogyakarta, Selasa (24/11/2020). Ia melakukan penelitian pemberdayaan mualaf oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dari perspektif fikih zakat.

Waris Fahrudin menekuni profesi dakwah fisabilillah sejak tahun 2001 hingga sekarang. Ia berdakwah kepada warga non muslim dari Aceh hingga Port Moresby Papua New Guninea; Pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Pulau Sangir, Kepulauan Sangire Talahud, Sulawesi Utara.

Bacaan Lainnya

Waris Fahrudin mengangkat judul desertasi ‘Pemberdayaan Mualaf Asal Budha di Kecamatan Kaloran oleh Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Temanggung Periode 2017-2019 Perspektif Fikih Zakat.’ Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji.

Tim Penguji terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Rektor UII dan Ketua Sidang; Dr Dra Junanah MIS, Sekretaris; Prof Dr Faisal Ismai MA, penguji 1; Drs Akhsyim Afandi MA, Ec PhD, penguji 2; Dr Siti Achiria SE, MM, penguji 3. Sedang promotor Prof Dr Khairuddin Nasution M dan co-promotor Dr Muslich KS, MA.

Lebih lanjut Waris menjelaskan ada perbedaan pendapat di antara ahli fikih (fuqaha) mengenai siapa di antara mualaf yang tidak lagi berhak mendapatkan zakat setelah Islam kuat. Perbedaan ini dilihat dari segi mansukh dan tidak terkait dengan kata Al Muallafat Qulubuhum (Surah At Taubah ayat 60).

Menurut Mazhab Hanafiah, pemberian zakat kepada mualaf disyariatkan pada permulaan Islam di mana umat Islam masih lemah. Menurut Muhammad al-Jawwad dalam kitab al-Fiqhu fi Mazhabib al Khamsah, Ibnu Rusyd (1126-1198 M) mengatakan zakat kepada mualaf menurut Imam Malik (711-795 M), sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Mazhab Hanafiah, kata Waris, pendistribusian zakat untuk pemberdayaan oleh BAZNAS Kabupaten Temanggung tidak sesuai dengan fikih zakat. Namun alasan BAZNAS Kabupaten Temanggung memberi bantuan untuk pemberdayaan tersebut karena kemiskinan. “Keadaan miskin inilah yang menyebabkan para mualaf mendapatkan bagiannya,” kata Waris.

Selama ini, jelas Waris, kesadaran kaum aghniya’ dalam membayar zakat mal masih minim. Karena itu, agar tersedia cukup dana untuk pemerdayaan mualaf secara berkelanjutan, BAZNAS Kabupaten Temanggung harus menguatkan jejaring yang luas dengan aghniya’ dan stakeholders.

Kemudian untuk mengantar mualaf bisa melaksanakan rukun Islam memerlukan pendampingan. Sebab masih banyak mualaf yang memiliki sikap dependen atau tergantung atau tidak mandiri dalam aspek ekonomi dan amaliah ibadah.

Sikap dependen ini tidak dapat diubah langsung dengan berpindah agama. Karena itu, program BAZNAS ke depan harus bisa melakukan kajian yang masif berorientasi pada pembangunan mindset mualaf dari dependen menjadi independen atau mandiri secara berkelanjutan. Sehingga mualaf tersebut dapat mengambil peran sebagai pemberi manfaat kepada sesama.

“Ada status mualaf hanya digunakan untuk mengesahkan akad pernikahan. Setelah pernikahan mereka kembali ke agama asal. Kasus ini membutuhkan pendampingan yang ekstra agar status keisalaman tetap terjaga,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *