Zakat Belum Dipandang Sebagai Pendapatan Negara

M Bahrul Ilmie saat ujian terbuka di Prodi DHI FIAI UII Demangan, Yogyakarta, Senin (23/11/2020). (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pemerintah belum memiliki political will (keinginan kuat) menjadi zakat sebagai bagian penting dari pendapatan negara atau Anggaran Pendapatan Belaja Negara (APBN) sebagaimana pajak. Berdasarkan data di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 233,8 triliun.

Demikian diungkapkan H Muhammad Bahrul Ilmie dalam Ujian Terbuka Desertasi pada Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (DHI FIAI UII), Senin (23/11/2020). Muhammad Bahrul mengangkat judul ‘Politik Hukum Pengelolaan Zakat di Indonesia : Kajian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.’

Bacaan Lainnya

Desertasi dipertahankan di depan Tim Penguji yang terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSe, PhD (Rektor UII/Ketua Sidang); Dr Yusdani MAg (Ketua Prodi DHI/Sekretaris Sidang); Prof Dr Drs Makhrus SH MHum (penguji 1); Dr Drs M Muslick KS MAg (penguji 2); Dr Abdul Jamil SH MH. Sedang promotor Prof Dr Abdul Ghofur Anshori SH MH dan co promotor Dr Drs Sidiq Tono MHum.

Dijelaskan Bahrul Ilmie, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, menunjukkan negara menghadirkan aktualisasi hukum agama di ruang publik. Pelaksanaanya bersinggungan dengan aspek politik dan ekonomi yang bisa membantu pencapaian tujuan negara.

Hasil penelitian, kata Bahrul, politik hukum negara dapat melakukan relasi pengelolaan zakat dan pajak. Di antaranya, memperkuat kewenangan negara sebagai amil zakat, regulator dan operator pengelolaan dana zakat. “Keterlibatan negara memberikan manfaat pada kepentingan politik, sosial dan ekonomi kenegaraan dalam pemenuhan pasal 34 ayat 1 UUD 1945,” kata Bahrul.

Namun di sisi lain, ada gangguan pada prinsip keadilan hukum pada pembayar zakat (muzakki) dan relasinya atas pembayaran pajak. Sebab proses legislasinya tidak ada sinkronisasi hukum. Konsekuensinya meneruskan kebijakan lama yaitu insentif tax deducation (menghindari tax credit). Meskipun secara imperatif harusnya negara memenuhi amanat pasal 28D ayat 1 UUD 1945. “Untuk itu perlu diupayakan pengintegrasian sekaligus harmonisasi atas UU Zakat dan UU Pajak,” harap Bahrul.

Zakat, jelas Bahrul, merupakan kewajiban bagi umat agama Islam. Sedang pajak merupakan kewajiban warga kepada negaranya. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2011, keduanya diberlakukan bersamaan bagi masyarakat muslim.

Karena itu, Bahrul mengusulkan agar pemerintah mengintegrasikan dan mengharmonisasikan UU Zakat dan UU Pajak. Sehingga masyarakat muslim dapat menikmati penggunaan tax credit (zakat sebagai pengurang langsung atas pajak) yang progesif. “Keadilan hukum dan agama dapat terpenuhi,” kata Bahrul.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *