YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) menyambut 26 doktor baru dari berbagai fakultas dan program studi (Prodi), Senin (27/12/2021). Doktor baru menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dalam dan luar negeri yaitu Jepang, Australia, Turki, Belanda, Malaysia, Swedia dan Thailand.
“Dosen dengan pendidikan doktor di UII kini menjadi 241 orang (atau 30,7%) dari keseluruhan 784 dosen. Persentase ini jauh di atas rata-rata nasional. Data pada akhir 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan dari 309.006 dosen, baru 51.500 (atau 16,7%) yang berpendidikan doktor,” kata Rektor UII, Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD.
Jumlah doktor, tambah Fathul, akan terus bertambah sebab saat ini, ada 129 dosen UII juga sedang menempuh studi doktor, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika semuanya berhasil dalam beberapa tahun mendatang, maka proporsi dosen UII yang berpendidikan doktor akan menjadi 47,2%.
Fathul Wahid juga mengungkapkan kebahagiaanya adanya variasi asal perguruan tinggi para doktor baru. Dari 26, sebanyak 12 orang lulusan beragam perguruan tinggi di Indonesia. Sisanya (14 orang) menuntaskan studinya di Jepang (5 orang), Australia (3), Turki (2), Belanda, Malaysia, Swedia, dan Thailand, masing-masing 1 orang. “Keragaman ini sangat penting untuk menjaga dinamika gagasan dan diskusi,” katanya.
Menurut Fathul, hal ini penting karena adagium ide dari banyak kepala lebih baik dibandingkan dengan satu kepala hanya valid jika memenuhi beberapa syarat. Mengutip Surowiecki (2005) dalam bukunya ‘The Wisdom of Crowds’ ada minimal empat syarat. (a) Keragaman opini – setiap orang harus mempunyai informasi privat, meskipun hanya merupakan interpretasi lain atas fakta yang ada; (b) independensi – opini orang tidak ditentukan oleh opini orang-orang sekitarnya; (c) desentralisasi – orang dapat memanfaatkan pengetahuan lokal; dan (d) agregasi – adanya mekanisme yang menggabungkan informasi privat ke dalam keputusan kolektif.
“Keragaman asal perguruan tinggi doktor baru, bagi saya, merupakan awal baik sebagai syarat terciptanya iklim yang kondisif untuk tumbuh dan berkembangnya gagasan segar,” katanya.
Untuk menyelesaikan pendidikan doktor, kata Fathul, tidak gampang sehingga ada yang berhasil dan gagal dengan berbagai alasan. Di Amerika Utara, tingkat kegagalan studi doktor diperkirakan mencapai 40-50% (Litalien & 2015). Di Australia, sebelum pandemi Covid-19 menyerang, sekitar 20% mahasiswa program doktor tidak menyelesaikan studinya.
Ketika pandemi, mereka menghadapi masalah pendanaan akut, sebanyak 45% (dari 1.020 responden) kemungkinkan akan menghentikan studi sampai akhir tahun ini (Johnson et al., 2020). Di bidang sistem informasi, bidang yang Fathul tekuni, sebanyak sepertiga mahasiswa doktor gagal menyelesaikan studinya (Avison & Pries-Heje, 2005). “Saya belum menemukan statistik serupa di Indonesia,” katanya.
Fathul berpesan agar capaian tersebut bukan alasan untuk jumawa dan menjadi besar kepala. Ia banyak mengharapkan sumbangan para doktor untuk mengabdikan ilmu dan pengalamannya untuk bersama-sama memajukan UII.
“Saya berharap para doktor baru, bersama-sama dosen yang lain, dapat membuat perubahan di bidang akademik dan kelembagaan. Untuk itu, saya berharap saudara dapat meningkatkan refleksivitas otonom (autonomous reflexivity), mengasah sensitivitas dalam membaca keadaan. Refleksivitas ini diperlukan untuk memahami konteks dengan lebih baik,” harapnya.