Pendidikan Antikorupsi Harus Ada Contoh dari Penyelenggara Negara

Rektor UII, Prof Fathul Wahid saat membuka Diskusi ‘Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi’ Sabtu (23/10/2021). (foto : screenshot/youtube/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD menandaskan pendidikan antikorupsi akan kehilangan makna, ketika tidak ada contoh konsisten dari penyelenggara negara. Pendidikan antikorupsi juga tidak hanya diberikan ketika kuliah saja. Namun sejak dini pendidikan antikorupsi harus diberikan di dalam keseharian di rumah.

Rektor UII mengungkapkan hal tersebut saat membuka ‘Diskusi Aktual dan Launching Posko UII Lawan Korupsi’ secara Daring, Sabtu (23/10/2021). Diskusi yang bertema ‘Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi’ ini dilaksanakan Pusat Studi Hukum FH UII bersama dengan LKBH FH UII, LEM UII, HMI FH UII, dan PSHK FH UII.

Bacaan Lainnya

Diskusi ini menghadirkan nara sumber Prof Dr Azyumardi Azra, MA, CBE (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr HM Busyro Muqoddas, SH, MHum (Dosen Fakultas Hukum (FH) UII) dan Rasamala Aritonang, SH, MH (Mantan Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)). Sedang moderator Anang Zubaidy, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum UII.

Lebih lanjut Rektor UI mengatakan di media massa banyak berita yang menyatakan sebagian besar koruptor adalah lulusan kampus. Menurut Rektor UII, ini merupakan kesimpulan yang diambil dengan kecohan dalam pengambilan keputusan. Kesimpulan tersebut biased sample fallacy, kecohan inferensi karena sampel yang bias.

“Wajar saja, karena pemegang kuasa negara di beragam level memang alumni kampus. Ini persis dengan mengatakan bahwa sebagian besar penghuni penjara di negara A atau B beragama tertentu yang mayoritas, sehingga akhirnya menarik kesimpulan yang salah,” kata Fathul Wahid.

Dijelaskan Rektor UII, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tidak pernah mengalami penurunan pada periode tahun 2010, 2013, dan 2017. Baru pada tahun 2020, skor Indonesia turun, dari 40 ke 37. “Pada tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat 85. Namun kemudian bergeser menjadi peringkat 102. Ini berarti ada 17 negara lain merangsek naik, yang mengindikasikan prestasi lebih baik dalam pemberantasan korupsi,” kata Fathul.

Penurunan peringkat, kata Fathul Wahid, menggambarkan pertama, sangat sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja. Karena media massa masih saja dihiasi dengan penangkapan para penguasa yang mengkhianati amanahnya dengan terlibat dalam tindak pidana korupsi. “Banyak kasus yang terungkap, utamanya terkait dengan pengadaaan barang/jasa dan perizinan. KPK sendiri menyebut, sekitar 70% kasus korupsi terkait dengan pengadaan,” katanya.

Kedua, lanjut Fathul Wahid, banyak orang menyebut korupsi seperti puncak gunung es, yang bagian bawahnya yang justru lebih besar tidak terlihat. Ranah KPK, hanya korupsi besar, sedang korupsi dengan nominal ‘kecil’ tidak masuk radar KPK.

“Tentu, kita tidak bisa menyepelekan, karena ini terkait ke akses layanan publik yang sama dan juga kejujuran bangsa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak ke pelanggenggan ‘budaya korupsi’ di semua tingkat,” katanya.

Ketiga, pendidikan sejak dini terkait dengan antikorupsi perlu diikhtiarkan
bersama. “Pendidikan antikorupsi ini harus diberikan, bahkan di dalam keseharian di rumah. Tidak selalu harus dibingkai dengan kata korupsi. Mendidik kejujuran, keadilan, tidak mengambil yang bukan haknya, dan menghargai hak orang lain, merupakan bingkai abadi yang relevan untuk pendidikan antikorupsi semua konteks,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *