Penanda Aktivasi Koagulasi Dapat Menekan Kematian

Usi Sukorini foto bersama dengan tim penguji seusai ujian terbuka di FK UGM, Selasa (8/11/2016). (foto : istimewa)
Usi Sukorini foto bersama dengan tim penguji seusai ujian terbuka di FK UGM, Selasa (8/11/2016). (foto  : istimewa)
Usi Sukorini foto bersama dengan tim penguji seusai ujian terbuka di FK UGM, Selasa (8/11/2016). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA — Penanda aktivasi koagulasi dapat menunjukkan kondisi prethrombotic state terkait Trombosit Vena Dalam (TVD). Penanda ini dapat digunakan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat TVD.

Demikian ditandaskan dr Usi Sukorini pada ujian terbuka untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) Yogyakarta, Selasa (8/11/2016). Saat ini, TVD masih menjadi masalah kesehatan yang penting terutama saat terjadi perkembangan ke arah emboli paru yang dapat mengancam jiwa. Namun, hingga saat ini belum disepakati penanda aktivasi koagulasi yang berkaitan dengan deteksi peningkatan risiko mendapatkan TVD.

“Bagaimana dan sejauh mana peran F1+2, FPA, dan TAT belum jelas, terutama di Indonesia. Indeks trombosis sama sekali belum pernah diusulkan terkait dengan kondisi prethrombotic state dalam rangka memperediksi peningkatan risiko mendapatkan TVD,” kata Usi Sukorini.

Dalam desertasinya berjudul ‘Faktor Risiko Prethrombotic State dan Indeks Trombosis pada Trombosis Vena Dalam,’ Usi menjelaskan TVD merupakan salah satu manifestasi tromboembolisme vena (TEV). Hal ini muncul akibat suatu kondisi tertentu atau merupakan komplikasi penyakit yang mendasari, yang dapat menginduksi timbulnya prethrombotic state.

Pada tahun 2009, kata Usi, di Indonesia ada kejadian TEV asimtomatik dan simtomatik pada pasien pasca pembedahan ortopedi tanpa trombofilaksis didapatkan masing-masing 69,2 persen dan 23,1 persen. Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya TVD cukup beragam. Di antaranya, pembedahan, trauma, istirahat di tempat tidur dalam waktu lama, perjalanan jauh, kemoterapi, obesitas, kebiasaan merokok, faktor genetik, dan faktor risiko lainnya.

Pasien TVD dapat bersifat asimtomatik dan simtomatik, sehingga perlu diwaspadai agar tidak berkembang ke arah emboli paru. Emboli paru, dapat terjadi saat trombus, terutama di ekstrimitas inferior, lepas sebagai emboli mengikui aliran darah melalui vena cava inferior menuju jantung dan kemudian ke arteri pulmonalis.

“Dalam kondisi ini secara mendadak pasien dapat mengalami sesak nafas dan akhirnya meninggal secara mendadak. Kondisi ini sangat berbahaya terutama terhadap pasien asimtomatik,” tandas staf pengajar di Departemen Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium FK UGM ini.

Persoalan ini mendorong Usi untuk merumuskan formula baru yang dapat menggambarkan kondisi in vivo yang berdampak ke produk akhir yang mempengaruhi pembentukan trombus. Ia menentukan seberapa jauh peran penanda aktivasi koagulasi prothrombin fragment 1+2 (F1+2), fibrinopeptide A (FPA), kompleks trombin-antitrombin (TAT), serta indeks trombosis (F1+2)+(FPA)/TM dalam memprediksi peningkatan risiko terjadinya TVD.

Berdasarkan penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa prothrombin fragment 1+2 (F1+2) dengan cut off > 0.3 nmol/ml dapat memprediksi peningkatan risiko terjadinya TVD dengan rasio odds 73.8. Sementara fibrinopeptide A (FPA), kompleks trombin-antitrombin (TAT), serta indeks trombosis (F1+2)+(FPA)/TM masing-masing juga dapat memprediksi terjadinya TVD dengan rasio odds 1.8, 12, serta 1.19.

“Pemeriksaan prothrombin fragment 1+2, fibrinopeptide A, kompleks trombin-antitrombin, dan indeks trombosis dapat diaplikasikan terkait penatalaksanaan pasien dalam memprediksi peningkatan risiko mendapatkan trombosis vena dalam,” katanya.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *