YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Drone Emprit Academic (DEA) sebagai alat bagi akademisi untuk memberikan analisa yang netral. Sehingga hasil analisanya bisa menjadi informasi alternatif untuk menyikapi sesuatu informasi yang sedang trend di masyarakat.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid PhD mengemukakan hal tersebut kepada wartawan di sela-sela Seminar dan Workshop Drone Emprit Academic (DEA) di Kampus Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, Selasa (19/11/2019). Seminar diikuti 60 lembaga berbeda dari 36 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Dijelaskan Fathul Wahid, hoax yang beredar di media sosial sangat sulit deteksi. Bahkan seorang profesor pun bisa menjadi penyebar hoax. Ini akibat kesulitan untuk membedakan mana berita yang valid, mana yang bohong.
“Ketika komunitas sensitif terhadap isu-isu tertentu, akademisi melalui analisa menggunakan DEA bisa memberikan narasi alternatif. Ketika narasi alternatif itu ada, masyarakat teredukasi. Mereka bisa memilih, oh ini masuk akal, ini nggak masuk akal,” tandas Fathul Wahid.
Seminar dan workshop DEA ini ditujukan untuk membesarkan komunitas. Komunitas yang bisa mengakses DEA. Semakin banyak akademisi dari berbagai disiplin ilmu akan semakin beragam perspektifnya. “Dengan data yang sama, bisa didekati dengan banyak perspektif. Ada dari komunikasi, hubungan internasional, informatika bahkan dari agama,” katanya.
Analisa berdasarkan data dari DEA dapat disajikan dan bisa mengedukasi publik. Sebab tidak semua publik mempunyai akses ke DEA. Sehingga tugas akademisi membantu mencerna, memahami, merefleksikan data sehingga yang membuat publik akan semakin enak memahaminya. “Itu tugas akademisi dan juga media membantu bagaimana publik bisa mengakses hal nampaknya sulit menjadi mudah dibaca,” kata Fathul Wahid.
Dasar Kebijakan
Menurut Fathul Wahid, pola pengolahan data seperti DEA, dapat diterapkan dalam pemerintahan. Pengolahan data tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengambil kebijakan dan menyusun program.
“Dua pekan lalu saya diundang asosiasi pemerintah kabupaten. Saya cerita bahwa data yang ibu bapak dapatkan dari publik, terkait dengan laporan masalah, komplain, pertanyaan dan lain-lain itu bisa diolah lebih jauh. Bahkan bisa sampai menjadi kebijakan jangka panjang, menjadi program. Tetapi ternyata mereka belum ada yang memanfaatkannya,” katanya.
Selama ini, kata Fathul, ada laporan listrik mati, ditindaklanjuti, laporan selesai. Ada laporan selokan mampet dilaporkan, ditindaklanjuti selesai. Namun ketika ada 10.000 laporan dari masyarakat. Aparat pemerintah tidak mungkin membaca satu per satu. Membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Kalau dibantu teknologi, akan terlihat pola besarnya, kan enak. Bisa dilihat apa yang saat ini menjadi perhatian publik. Tanpa dukungan teknologi, saya enggak yakin aparat pemerintahan punya waktu untuk membaca semuanya. Apalagi mencernanya,” tandasnya.