Wisuda Bukan Purna Tugas untuk Berhenti Belajar

Prof Edy Suandi Hamid memindahkan kucir sebagai tanda mewisuda lulusan di Kampus UWM Yogyakarta, Senin (12/10/2020). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc mengatakan wisuda bukanlah purna tugas dan berhenti belajar. Namun wisuda merupakan awal untuk mempraktekan ilmu yang sudah didapatkan di kampus untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan dan tantangan yang semakin kompleks.

Edy Suandi Hamid mengemukakan hal tersebut pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Wisuda Sarjana Periode 56 dan 57 di Pendopo Agung UWM, Senin (12/10/2020). Wisuda Sarjana Periode 56 dan 57 sebanyak 426 lulusa ini dilaksanakan secara luring (luar jaringan) dan daring (dalam jaringan).

Bacaan Lainnya

Wisuda digelar selama tiga hari dengan total delapan sesi dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Hal ini dimaksudkan tidak menimbulkan kerumunan selama proses wisuda.

Lebih lanjut Edy mengatakan ke depan, di era Revolusi Industri 4.0 dan seterusnya tantangan zaman semakin kompleks.Tingkat persaingan semakin ketat di semua lini kehidupan. “Hal ini memaksa setiap insan untuk terus belajar membaca keadaan apabila ingin survive,” kata Edy.

Wisuda di masa pandemi Covid-19, kata Edy, sangat istimewa karena dilaksanakan baik secara online dan offline tanpa kehilangan nilai sakral. Pandemi Covid-19 merupakan sebuah ujian dan pasti ada hikmahnya.

Pandemi Covid-19 memberikan perubahan banyak hal dari kehidupan di Indonesia dan dunia. Dalam perkuliahan dipaksa untuk menerima sebuah kondisi normal ‘baru’ yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.

“Prosesi wisuda hari ini kita lakukan baik secara luring dan daring, semoga tidak mengurangi niat tulus kita untuk memberikan penghargaan dan ungkapan kegembiraan atas pencapaian keilmuan para wisudawan,” kata Edy yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia periode 2008-2009 itu.

Dijelaskan Edy, paradigma pendidikan tinggi harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Peningkatan kesadaran teknologi digital merupakan suatu keniscayaan dalam menghadapi era disruption.

“Hal terpenting adalah membentuk mahasiswa, generasi milenial yang berkarakter, sehingga mampu memanfaatkan peluang dan mengakses pekerjaan-pekerjaan baru yang tidak dikenal sebelumnya. Ini menjadi tantangan bagi seluruh sivitas akademika UWM,” kata Edy.

Anggota Parampara Praja Pemda DIY tersebut menandaskan bekal pengalaman-keilmuan yang diperoleh di kampus, para wisudawan tidak boleh ragu menerobos ketatnya kompetisi. Wisudawan harus terus melahirkan kreativitas dan inovasi yang berguna bagi masyarakat, negara, dan bangsa.

Prestasi dan capaian hingga hari ini pantas dibanggakan. Namun begitu, ini semua bukanlah hasil kerja keras para lulusan saja. Ada sentuhan, bantuan, arahan, pertolongan, dan doa dari banyak orang-orang tercinta, orang tua dan keluarga.

“Jadilah manusia yang berkarakter, inklusif, inovatif, berdaya saing, serta adaptif dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadilah manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Jadilah insan yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan. Jagalah nama baik almamater Anda,” ujar Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) 2011-2015 itu.

Sementara Wakil Ketua Umum Yayasan Mataram Yogyakarta Prof Dr Ir Sunyoto, Dipl. HE.DEA menuturkan, UWM sebagai tempat mengembangkan prestasi dan menyelesaikan studi memiliki kekhasan budaya sebagai modal para lulusan. Alumni UWM harus mampu mengimplementasikan beberapa ajaran seperti golong gilig, sawiji, greget, sengguh ora mingkuh dalam segala lini kehidupan.

“Tata nilai budaya Yogyakarta juga harus dijadikan landasan para lulusan UWM dalam setiap aktivitas pekerjaan dan dalam kehidupan bermasyarakat,” kata Prof Sunyoto.

Tata nilai budaya Yogyakarta, kata Sunyoto, antara lain kesucian, keadilan, kemuliaan, kebenaran, keindahan, kepatuhan, kelayakan, dan kebermanfaatan. Tata nilai tersebut linier dengan karakter kampus berbasis budaya dalam mencetak lulusan yang tangguh.

Kepemimpinan dan pemerintahan, Sunyoto menambahkan, juga menjadi bagian dari budaya Yogyakarta. Di dalamnya mengatur bagaimana tata hubungan manusia, salah satunya antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *