Rektor UII Ajak Alumni Mengurangi Ketimpangan di Masyarakat

Wisuda
Prosesi Wisuda Periode III Tahun Akademik 2023/2024 di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus UII Yogyakarta, Sabtu (27/1/2024). (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengajak alumni UII untuk mengurangi ketimbangan di masyarakat. Sekaligus mengimplementasikan cita-cita para pendiri bangsa yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rektor UII mengemukakan hal tersebut saat mewisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Periode III Tahun Akademik 2023/2024 di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus UII, Sabtu-Ahad (27-28/1/2024). Ada sebanyak 717 lulusan dari berbagai jenjang mengikuti wisuda yaitu dua ahli madia, 630 sarjana, 80 magister, dan lima doktor.

Bacaan Lainnya

Sampai hari ini, UII telah menghasilkan lebih dari 120.000 lulusan yang sudah menebar manfaat dengan beragam peran, baik di dalam negeri maupun mancanegara. “Ini adalah bagian dari sumbangsih UII untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan,” kata Fathul Wahid.

Menurut Rektor UII, saat ini ketimpangan di masyarakat masih menjadi masalah sosial yang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Indikasi ketimpangan sangat beragam, salah satunya, pendapatan masyarakat Indonesia masih timpang.

“Ketimpangan itu diindikasikan oleh rasio Gini 38,8% pada Maret 2023 (BPS, 2023a). Data di bulan yang sama, porsi masyarakat miskin masih cukup besar, yaitu 9,36% atau setara dengan 25,90 juta orang. Bahkan di Papua, proporsi pendudukan yang miskin mencapai 26,03% (BPS, 2023b),” kata Fathul Wahid.

Ketimpangan dan kemiskinan, kata Fathul Wahid, membawa banyak akibat. Di antaranya, akses ke banyak layanan, termasuk pendidikan, juga terbatas. Misalnya, menurut Susenas 2023, pemuda usia kuliah yang berkesempatan menikmati pendidikan tinggi hanya 31,19%. Artinya, ada 68,81% atau sekitar lebih dari 17 juta pemuda tidak pernah mengenyam bangku kuliah.

Karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran para pemimpin agar ketimpangan itu menjadi landai. “Orang yang mempunyai kuasa untuk melandaikan lapangan permainan (leveling the playing field) adalah mereka yang berada pada posisi yang lebih tinggi. Untuk isu ini, kita bisa ibaratkan ketimpangan merupakan seperti ayunan jungkat jungkit dengan dua orang pemain, satu di setiap sisi. Orang yang bisa menjadikan papan ayunan semakin landai adalah pemain pada posisi tinggi. Dengan berat badannya, dia bisa mengangkat pemain satunya,” katanya.

Kesuksesan seseorang, kata Fathul, akan menjadikannya mempunyai kuasa atau keleluasaan, termasuk membantu orang lain. Bantuan bisa mewujud dalam banyak bentuk, termasuk kebijakan negara atau lembaga, gerakan sosial, maupun aksi individual.

Karenanya, tambah Fathul, dirinya mengajak semuanya terus mengasah empati atau kepedulian kepada orang lain dan, di saat yang sama, mengelola sikap yang hanya peduli kepada diri sendiri. Hanya dengan demikian, dunia yang timpang akan menjadi lebih landai karena mereka yang berada di papan jungkat jungkit atas mau membantu yang tidak beruntung untuk meningkat derajatnya. “Sialnya, menurut survei McKinsey (Dondi et al., 2021) terhadap 18.000 orang di 15 negara, ternyata tingkat pendidikan hanya mempunyai korelasi rendah dengan empati seseorang,” ujar Fathul Wahid. (*)