UII Tambah Lagi Dua Guru Besar, Kini Memiliki 39 Profesor

Profesor
Prof Masduki dan Prof Hanafi Amrani seusai menerima SK Guru Besar. (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta kembali menambah dua Guru Besar yaitu Prof Hanafi Amrani SH, MH, LLM, PhD dan Prof Dr rer soc Masduki SAg, MSi. Prof Hanafi Amrani menjadi Guru Besar ke 12 di Fakultas Hukum UII dan ke-38 secara keseluruhan di UII. Sedang Prof Masduki merupakan dosen yang menyandang gelar jabatan akademik Guru Besar pertama di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya dan ke-39 di lingkungan UII.

Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengatakan hingga saat ini UII mempunyai 39 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Tambahan dua profesor ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,8 persen (39 dari 800 orang).

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan saat ini, ada sebanyak 258 dosen berpendidikan doktoral. Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 114 lektor. “Mereka semua (181 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor,” kata Fathul Wahid, Senin (27/11/2023).

Dalam sambutannya, Fathul Wahid mengatakan kebebasan saintifik atau scientific freedom atau freedom of scientific research merupakan pilar utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Kebebasan ini adalah fondasi yang memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk menjelajahi ide, mencari kebenaran, dan berinovasi tanpa hambatan yang tidak perlu.

Bahkan, kata Fathul, kebebasan saintifik dianggap sebagai kebutuhan demokrasi, hak sipil dan politik. Selain itu, menjadi salah satu penjamin kesehatan dan kesejahteraan manusia selama tidak menimbulkan dampak buruk bagi orang lain.

Sedang kebebasan akademik (academic freedom), kata Fathul, memiliki cakupan yang lebih luas dan melampaui riset saintifik. Kebebasan akademik mencakup kebebasan anggota komunitas akademik (dosen, peneliti, mahasiswa) di perguruan tinggi yang memungkinkan kinerja efektifnya dalam menjalankan tugasnya. Di antaranya, pengajaran, riset, pembelajaran, praktik seni tanpa interferensi atau batasan karena hukum, regulasi, atau tekanan publik yang tidak masuk akal.

Menurut Fathul, kebebasan saintifik juga mempunyai tantangan yang harus dimitigasi. Tantangan tersebut termasuk koridor etika, karena riset mungkin memiliki dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan.

Selain itu, kata Fathul, aspek ketergantungan finansial dan politik dapat menggadaikan independensi saintifik. “Jika terjebak, periset mungkin menerima riset pesanan untuk memberi stempel kepada kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada kebaikan khalayak,” katanya.

Tantangan lain, tambah Fathul, ketidaksetaraan akses terhadap beragam sumber daya dan peluang riset. Tantangan ini dapat menciptakan ketimpangan dalam kebebasan saintifik.

“Tanpa ketaatan terhadap koridor etika, kebebasan saintifik dapat disalahgunakan, seperti dalam kasus riset yang dapat membahayakan keamanan publik. Karenanya, konsekuensi sosial dari kebebasan saintifik harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab,” harap Fathul. (*)