UII Kukuhkan Dua Guru Besar, Prof M Syamsudin dan Prof Agus Widarjono

Profesor
Dua Profesor UI yang dikukuhkan Kamis (24/11/2022). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) mengukuhkan dua Guru Besar, Prof Dr M Syamsudin, SH, MH dan Prof Drs Agus Widarjono MA, PhD dalam Rapat Terbuka Senat UII di Auditorium Abdul Kahar Mudzakir Kampus Terpadu UII, Kamis (24/11/2022). Prof M Syamsudin sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum, sedang Prof Agus Widarjono, Bidang Ilmu Ekonomi.

Agenda Rapat Terbuka Senat UII yang dipimpin Rektor Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mendengarkan pidato dua guru besar. Prof M Syamsudin mengangkat judul ‘Berhukum Profetik di Tengah Kalatidha.’ Sedang Prof Agus Widarjono mengangkat judul ‘Meneguhkan Kembali Prinsip Ekonomi Bagi Hasil Bank Syariah Menuju Kestabilan Sektor Perbankan.’

Bacaan Lainnya

Prof Syamsudin menjelaskan istilah Kalatidha pertama kali digunakan Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) dalam karyanya tentang Serat Kalatidha yang terbit pada tahun 1861. Kata Kalatidha secara harfiah berarti zaman keraguan, zaman cacat, rusak, zaman yang penuh kegelisahan dan kekhawatiran, serta zaman tanpa kepastian. “Bahkan digambarkan secara sarkastik Kalatidha sebagai zaman edan atau gila,” kata Syamsudin.

Lebih lanjut Syamsudin mengatakan Serat Kalatidha berisi tentang kritik sosial profetik yang mendeskripsikan situasi sulit, kacau, banyak terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran moral, kondisi masyarakat semakin rakus dan loba. Tetapi di sisi lain, Serat Kalatidha juga berisi filsafat dan ajaran kehidupan, yang menyiratkan unsur religius (transendensi).

Di dalam ajarannya, mengandung unsur-unsur: Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan menyebut Allah, Pangeran, dan Hyang Suksma; Percaya pada takdir dan wajib ikhtiar; Ajaran mawas diri; Ajaran waspada dan eling. “Jadi isi dari Serat Kalatidha mengandung muatan gambaran realitas sosial, kritik sosial, pendidikan moral, dan sekaligus falsafah hidup,” kata Syamsudin.

Pemilihan diksi Kalatidha untuk mengungkapkan dua tujuan sekaligus. Pertama, dimaksudkan untuk menggambarkan, mengeneralisasikan dan mengabstaraksikan realitas sosial, budaya, politik dan hukum yang ‘senyatanya; terjadi, sehingga mempunyai fungsi deskripsi (das sein).

Kedua, dimaksudkan untuk merefleksikan kondisi sosial, budaya, politik dan hukum yang ‘seharusnya’ terjadi, sehingga mempunyai fungsi preskripsi (das sollen). Jadi pembacaan Serat Kalatidha ini sangat tepat untuk menggambarkan dua dunia sekaligus yang berbeda, yaitu dunia nyata (deskriptif) dan dunia ideal (preskriptif).

Sedang Ilmu Hukum Profetik (IHP) bertujuan untuk mewujudkan tiga nilai dasar (humanisasi, liberasi dan transendensi) secara berurutan dan utuh yang puncaknya, transendensi. “Ini berarti berhukum menurut pandangan IHP adalah aktivitas manusia untuk mengabdi dan mencari rida ilahi, Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi,” katanya.

Sementara Agus Widarjono, mengatakan dukungan pemerintah melalui UU perbankan syariah telah mempercepat perkembangan perbankan Islam di Indonesia. Bahkan, pada tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membuat Fatwa tentang pelarangan suku bunga (riba).

Namun pangsa pasar perbankan syariah masih relatif kecil, sebesar sekitar 6% pada tahun 2022. Total aset perbankan syariah ini tentu kecil jika dibandingkan dengan seluruh penduduk muslim di Indonesia yang berjumlah 250 juta.

“Alasan utamanya adalah hanya sebagian kecil nasabah yang loyal kepada bank syariah yang menghindari praktik suku bunga dan sebagian besar nasabah bank syariah masih mempraktikkan dual banking system sebagai profit-driven consumer,” kata Agus.

Dijelaskan Agus, Bank Syariah telah berjalan selama lebih dari 25 tahun, banyak masalah yang dihadapi perbankan syariah untuk bisa bersaing dengan perbankan konvensional, terutama dalam menyediakan dana bagi masyarakat. Rendahnya pangsa pasar, rendahnya efisiensi, mahalnya harga pembiayaan dan masih lebih rendahnya porsi pembiayaan bagi hasil dibandingkan dengan pembiayaan non bagi hasil adalah permasalahan utama bank syariah.

“Rendahnya porsi pembiayaan bagi hasil ini harus diatasi karena konsep awal perbankan syariah adalah sistem pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil seperti Mudharabah dan Musyarakah,” katanya. (*)