Terlambat, Kesadaran Akademisi Terhadap Big Data

Dr Raden Bagus Fajriya Hakim saat wawancara dengan jogpaper.net di ruang kerjanya, Rabu (14/12/2016). (foto : heri purwata)
Dr Raden Bagus Fajriya Hakim saat wawancara dengan jogpaper.net di ruang kerjanya, Rabu (14/12/2016). (foto : heri purwata)
Dr Raden Bagus Fajriya Hakim saat wawancara dengan jogpaper.net di ruang kerjanya, Rabu (14/12/2016). (foto : heri purwata)

KESADARAN dunia akademisi terhadap kehadiran Big Data dinilai terlambat. Saat ini masih banyak program studi statistik menggunakan buku-buku lama dan teori-teori lama yang sudah tidak lagi relevan terhadap kondisi saat ini. Ke depan harus ada pembaharuan teori statistik agar seseuai dengan perkembangan zaman.

“Buku dan teori lama itu disusun sebelum ada komputer. Masih menggunakan anggapan jika N tak terhingga maka distribusi data akan seperti ini,” kata Ketua Program Studi Statistik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII), Dr Raden Bagus Fajriya Hakim kepada jogpaper.net di ruang kerjanya, Rabu (14/12/2016).

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Hakim mengatakan memang dari sisi akademisi, Indonesia mengalami keterlamatan. Namun di sisi aplikasi sudah banyak perusahaan, khususnya perusahaan di bidang website sudah banyak yang menggunakannya. “Saya sempat ngobrol dengan sejumlah perusahaan terutama berbasis website, mereka mengaku sudah cukup lama memanfaatkan Big Data,” kata Hakim.

Amr Awadallah, CTO sekaligus Co-Founder Perusahaan Cloudera saat menjadai pembicara pada DSW di Kampus UII Yogyakarta, Sabtu (3/12/2016). (foto : istimewa)
Amr Awadallah, CTO sekaligus Co-Founder Perusahaan Cloudera saat menjadai pembicara pada DSW di Kampus UII Yogyakarta, Sabtu (3/12/2016). (foto : istimewa)

Untuk mengejar ketertinggalan, kata Hakim, Prodi Statistik UII berkolaborasi dengan Data Science Indonesia (DSI) menggelar seminar dan workshop Data Science Weekend (DSW). Narasumber DSW di antaranya, CTO sekaligus Co-Founder Perusahaan Cloudera, Amr Awadallah; Head of Analytics Google SEA, Leroy Pinto; Google Software Engineer, Tyler Akidau, Director of UTM Big Data Center, Prof Dr Siti Mariyam Shamsuddin.

Di akhir penyelenggaraan DSW telah dibentuk konsorsium yang diharapkan bisa menghasilkan teori-teori dan buku-buku baru untuk kemajuan pendidikan ilmu statistika. Sehingga para mahasiswa akan mendapatkan ilmu yang sesuai dengan perkembangan statistik terkini.

Penyelenggaraan ini, kata Hakim, mendapat respon positif dari peserta yang berasal dari berbagai institusi. Sebagian besar mereka merasa kaget senimar ini bisa sukses, padahal dilaksanakan di Yogyakarta. “Kalau penyelenggaraannya di Jakarta, mungkin wajar. Tetapi ini dilaksanakan di Yogyakarta,” katanya.

Menurut Hakim, akademisi di Malaysia lebih maju kesadarannya terhadap Big Data dibandingkan dengan Indonesia. Tahun 2014, Ibnu Sina Institute of Scientific in Research Universiti Teknologi Malaysia (UTM) sudah mendirikan Big Data Center.

Selain itu, kata Hakim, ke depan perlu dilakukan mengubah cara pandang masyarakat terhadap Big Data. Saat ini masih cara padang masyarakat Indonesia masih sederhana, terutama ketika menggunakan teknologi informasi. Mereka masih beranggapan apa yang dikerjakan melalui perangkat digitalnya, hanya diri dan penerimanya yang tahu.

“Padahal ketika menggunakan alat digital apapun dan sudah diklik send, maka secara terbuka kita menginformasikan sesuatu ke ranah publik dan dikonsumsi secara umum. Kita sering tidak sadar. Sedang alat penyimpan data-data tersebut orang lain. Sehingga data-data tersebut menjadi milik orang yang memiliki server dan software. Mereka akan mengolah data sedemikian rupa, terserah dia. Kita tidak bisa menghalang-halangi,” kata Hakim.

Karena itu, Hakim mengharapkan agar masyarakat semaki hati-hati dalam meng-upload informasi melalui perangkat digitalnya. Pertimbangkan sisi positif dan negatifnya sebelum mem-posting-kan sesuatu ke dunia maya.

“Sisi positif, seperti seorang pedagang akan dengan mudah mengambil data-data digital untuk menyebarkan barang dagangannya. Sedang sisi akademisi, para akademisi akan mengambil data digital sesuai dengan bidang penelitiannya. Pemerintah, dapat mencari komentar publik terhadap kebijakan yang diterapkan,” katanya.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *