Sukidi : Visi Baru Islam untuk Indonesia Maju

Sukidi saat menyampaikan materi kuliah umum untuk mahasiswa program doktor, magister, dan profesi UII, Sabtu (30/10/2021). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Sukidi PhD, Doktor Kajian Islam dari Universitas Harvard Amerika Serikat menegaskan perilaku negatif sebagian Muslim di Indonesia telah menutup jatidiri Islam sebagai agama yang menganjurkan kedamaian. Saat ini, berbagai problem mendera umat Islam seperti ujaran kebencian, korupsi, diskriminasi, dan lain-lain. Sehingga cahaya keindahan Islam tertutupi perilaku buruk umat Islam yang sama sekali tidak mencerminkan ajaran luhurnya.

Sukidi mengemukakan hal tersebut pada Kuliah Umum XIII bertemakan ‘Visi Baru Islam untuk Indonesia Maju’ secara Daring (dalam jaringan), Sabtu (30/10/2021). Kuliah Umum ini diperuntukan bagi mahasiswa Program Doktor, Magister, dan Profesi Universitas Islam Indonesia (UII).

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Sukidi yang juga Pemikir Kebinekaan, mengatakan umat Islam boleh berbangga dengan jumlah pengikut yang mayoritas. Namun seharusnya akta itu harus dibarengi dengan kontribusi positif yang mampu mengerahkan umat untuk menghadirkan kemajuan, menjadi pelindung, menjamin kerukunan, dan harmoni di tengah masyarakat.

Karena itu, Sukidi mengusulkan agar ada visi baru Islam yang menjadi panduan untuk reformasi Islam sekaligus memberi arah yang jelas kepada umat Islam dalam menjalani kehidupan di negeri yang mejemuk ini. Visi Baru Islam yang dikumandangkan Sukidi yakni Islam sebagai Agama Kebinekaan, Islam sebagai Agama Persatuan, Islam sebagai Agama Kesetaraan, Islam sebagai Agama Kebebasan, dan Islam sebagai Agama Kemanusiaan.

“Lima visi baru Islam ini sangat penting untuk ditanamkan pada setiap sanubari umat Islam agar menjadi kesadaran dan menjiwai setiap tingkah laku seorang Muslim,” kata Sukidi.

Sedang Rektor UII Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD mengatakan permusuhan atas nama agama, apapun agamanya, tidak dapat diterima. Nilai-nilai perenial agama justru seharusnya, membawa manusia kepada kebaikan, sikap saling menghormati, dan perdamaian.

“Jika ada sebagian kecil pemeluk agama yang cenderung kepada permusuhan itu adalah fakta sosial, dan bisa terjadi di semua agama. Tetapi, itu bukan dasar yang valid untuk melakukan generalisasi yang membabi buta,” kata Fathul Wahid.

Fakta sosial lain, menurut Prof. Fathul Wahid, sebagian orang mempunyai perspektif yang berbeda dengan yang dibayangkan kelompok lain. Mengutip Huntington (1996) dalam bukunya The Clash of Civilization, Islam diasosiasikan dengan ‘jeroan berdarah’ (bloody innards) atau ‘batas-batas berdarah’ (bloody borders).

Selain itu, kata Fathul Wahid, survei Pew Research Center (Lipka, 2017) memberikan gambaran lebih mutakhir bagaimana atribusi yang cenderung negatif terhadap kelompok yang berbeda itu nyata adanya. Survei yang dilakukan di negara-negara dengan pemeluk Islam mayoritas, orang Barat dipersepsikan egois, brutal, rakus, amoral, arogan, dan fanatik.

“Sebaliknya, orang Barat memberikan atribusi kepada muslim; fanatik, jujur, brutal, dermawan, arogan, dan egois. Kombinasi atribut yang tidak lazim dan sulit dibayangkan untuk menyatu dengan harmoni,” kata Fathul Wahid.

Menurut Fathul Wahid, merevitalisasi peran agama saat ini menjadi semakin penting, ketika fakta di lapangan memerlukan penjelasan yang lebih canggih. Indonesia termasuk negara yang warganya sangat percaya dengan Tuhan, tetapi menempati posisi 102 negara paling korup dari 180 negara menurut Tranparency International.

Belum lagi adanya kecenderungan global, proporsi terbesar mereka yang tidak percaya kepada Tuhan adalah yang berpenghasilan lebih besar, berpendidikan lebih tinggi, dan berusia lebih muda. Pew Research Center menyebut fakta ini sebagai The Global God Divide, kesenjangan Tuhan global.