Rektor UWM : Dorong Pemilih Milenial Berpartisipasi Aktif

Salah satu pembicara sedang menyampaikan materi pada Seminar di Yogyakarta, Sabtu (27/10/2018). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Prof Dr Edy Suandi Hamid, MEc mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memiliki terobosan agar pemilih milenial mau berpartisipasi aktif pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Menyusul partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 hanya sebesar 69% dan angka ini mengalami penurunan dibandingkan Pilpres 2009 sebesar 71,17%.

Edy Suandi Hamid mengemukakan hal tersebut ketika membuka Seminar Nasional ‘Meneropong Problematika pada Pemilu Tahun 2019’ yang dilaksanakan Fakultas Hukum UWM di Yogyakarta, Sabtu (27/10/2018). Seminar menampilkan keynote speaker Kombes Pol Dr Hadi Utomo SH, MHum, Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda DIY. Pembicara Dr Harjono, SH, MCL, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ; Hamdan Kurniawan SIP, MA, Ketua KPU DIY; Dr M Qodari, pengamat politik; dan Dr Refly Harun, SH, MH, LLM, pakar hukum tatanegara.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Edy mengatakan berdasarkan data terbaru Pemilu tahun 2019, diperkirakan akan ada sebanyak 7,4% atau sekitar 14 juta pemilih milenial yang pertama kali menggunakan hak pilih. Pemilih milenial biasanya memiliki bentuk adaptasi politik yang berbeda dengan generasi di atasnya.

“Karena itu, KPU serta stakeholder yang terlibat harus kreatif serta inovatif dalam mendesain program-program sosialisasi agar pemilih muda ini mau berpartisipasi aktif pada Pemilu yang akan datang. Namun, pemilih milenial juga harus memiliki kesadaran untuk ikut mengawasi serta mengkritisi setiap proses baik menjelang pelaksanaan, sewaktu pelaksanaan dan setelah pelaksanaan Pemilu,” tandas Edy.

Menurut Edy, proses berdemokrasi bangsa Indonesia berangsur membaik dan menunjukkan kedewasaanya. Namun, tidak bisa kita pungkiri, masih terdapat beberapa isu besar yang masih perlu diselesaikan. Salah satunya, politik etnisitas, identitas atau primordialisme.

Isu tersebut, kata Edy, seakan menjadi tantangan besar bagi demokrasi kita. Hal semacam ini akhirnya akan berujung pada aksi diskriminasi suku, agama atau ras antargolongan yang juga menjadi bagian dari primordialisme. Isu-isu primordialistik dikhawatirkan akan menimbulkan keretakan sosial di tengah negara yang sangat plural seperti Indonesia ini. Padahal hakikatnya, demokrasi menjamin hak politik setiap individu tanpa perduli bagaimana latar belakang etnis, ras, agama ataupun strata sosial.

Selain itu, kata Edy, maraknya informasi-informasi yang tidak benar (hoax) dan tidak bertanggung jawab semakin memperburuk suasana menjelang Pemilu. Seharusnya, nilai-nilai persaudaraan atau gotong royong tidak boleh tercederai hanya karena perbedaan preferensi politik.

“Perbedaan tersebut seharusnya membuat kita menjadi semakin kuat dan bersatu. Mahatma Gandhi pernah mengatakan Our ability to reach unity in diversity will be the beauty and the test of our civilisation atau kemampuan kita untuk mencapai persatuan dalam keragaman akan menjadi keindahan dan ujian peradaban kita,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *