Rektor UII : Lulusan Harus Terus Mengasah Ketrampilan

Fathul Wahid saat mewisuda lulusan di Auditorium Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Sabtu (26/10/2019). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengatakan lulusan harus terus menerus mengasah ketrampilan yang telah dimiliki selama menempuh pendidikan di UII. Sehingga masa depan dihadapi dengan suka cita.

Fathul Wahid mengatakan hal tersebut saat mewisuda 1.211 orang di Auditorium Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang Km 14 Yogyakarta, Sabtu (26/10/2019). Wisudawan terdiri 170 orang ahli madya, 938 sarjana, 99 master dan empat orang doktor. Sejak berdiri hingga saat ini, UII telah meluluskan sebanyak 98.889 alumni.

Bacaan Lainnya

Indek Prestasi Komulatif (IPK) tertinggi Program Strata Dua (S2) 3,94 diraih Elvis Saputra dari S2 Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencaan (FTSP). Program Sarjana 3,95 diraih Dhanaeswara Ilmasari dari S1 Teknik Lingkungan FTSP. Sedang Program Diploma 3,97 diraih Tantri Kurnia Y dari D3 Analisis Kimia Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan lulusan tidak mungkin lari dari masa depan yang menghadang. Cara paling bijak adalah mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan suka cita. “Saudara harus terus mengasah diri untuk Iebih siap menjemputnya,” kata Fathul.

Masa depan, lanjut Fathul, membutuhkan keterampilan yang berbeda. Keterampilan masa depan yang sudah dimiliki wisudawan harus terus digosok dan diasah, supaya semakin ‘kinclong’ dan tajam.

Menuut Fathul, selain kemampuan di bidang teknologi, ada sejumlah ketrampilan yang harus dikuasai. Pertama, kreativitas sangat diperlukan di masa depan untuk mendesain perubahan dan memanen semua perkembangan yang ada.

Kreativitas, kata Fathul, akan menciptakan inovasi dan menghadirkan solusi untuk beragam masalah manusia. Teknologi sampai saat tidak dapat mengalahkan kreativitas manusia.

“Karenanya, asah selalu kreativitas Saudara. Selalu berpikir lateral, menemukan hal yang tidak jamak, melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, mengkombinasikan beragam komponen yang nampaknya tidak mungkin disatukan, dan bingkai semuanya itu, untuk kemaslahatan yang Iebih besar. Tanpanya, kreativitas tidak akan menjelma menjadi inovasi,” katanya.

Kedua, tajamkan kecerdasan emosional. Banyak kejadian di sekitar membutuhkan sensitivitas yang membangkitkan empati. Empati adalah konsep relasional yang dibutuhkan ketika manusia berhubungan dengan lainnya. Kecerdasan emosional juga terkait dengan integritas dan kemampuan dalam bekerja sama.

Integritas akan terlihat dalam situasi yang tidak normal, seperti di bawah tekanan atau ketika adanya pilihan bukan merupakan kemewahan. Di masa depan, selain harus bekerja mandiri dan berpikir independen, alumni juga dituntut untuk dapat bekerjasama dengan orang Iain. Bahkan, dengan orang yang mungkin tidak disukai, karena beragam alasan. “Dalam situasi seperti inilah ketajaman kecerdasan emosional Saudara diuji,” jelasnya.

Ketiga, di masa depan keterampilan berpikir analitis sangat diperlukan. Keterampilan ini dapat dihubungkan dengan pengambilan keputusan. Di sini kemampuan memilih dan memilah informasi menjadi sangat penting. Hal ini sangat menantang ketika tantangan saat ini tidak lagi kemiskinan informasi tetapi kekayaan informasi yang dibarengi dengan kemiskinan atensi.

Belum lagi ditambah kualitas informasi yang tidak mudah diases, apakah informasi tersebut valid, ataukah hanya merupakan hoaks yang dipercaya banyak orang. Kemampuan berpikir mandiri sangat diperlukan untuk memunculkan ide yang bermanfaat, membangun argumen, dan ujungnya adalah memecahkan masalah yang semakin kompleks.

Keempat, keterampilan dalam menginspirasi dan menggerakkan orang lain sangat diperlukan di masa mendatang. Inilah keterampilan kepemimpinan. Kepemimpinan di masa depan menjadi semakin menantang ketika kemajemukan menjadi sebuah fakta sosial yang harus diorkestrasi dalam sebuah simfoni.

“Apalagi ketika mobilitas manusia antarnegara tidak lagi menjadi hal yang istimewa. Karenanya diperlukan kecerdasan kultural yang dapat melihat keragaman secara bijak, mengedepankan kebersamaan, dan meminggirkan perbedaan yang tidak substantif,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *