Putusan Hakim PA Eks-Karisidenan Kediri Belum Sensitif Gender

Khoirul Anam
Khoirul Anam saat mempertahankan desertasinya pada ujian terbuka, Jumat *28/7/2023). (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Putusan Hakim Pengadilan Agama Eks-Karisidenan Kediri, Jawa Timur belum sensitif gender dalam mengadili perkara cerai gugat pekerja migran Indonesia. Hal ini disebabkan hakim dan para pihak masih menganut aliran moderat yang memandang perempuan boleh berperan di ranah publik atau bekerja asalkan tidak melupakan tanggungjawab sebagai ibu yaitu menjaga dan merawat anak-anaknya.

Demikian diungkapkan Khoirul Anam, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tulungagung, Jawa Timur dalam ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Jumat (28/7/2023). Desertasi mengangkat judul Cerai Gugat Pekerja Migran di Pengadilan Agama Eks-Karisidenan Kediri (Studi Alasan, Upaya Pencegahan, Perspektif Gender Para Pihak Dan Hakim).

Bacaan Lainnya
Tim Penguji Desertasi. (foto : heri purwata)

Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di depan Tim Penguji yang terdiri Dr Drs Asmuni MA, Dekan FIAI UII (Ketua); Dr Anisah Budiati, SHI, MSi(Sekretaris); Prof Dr H Amir Mu‟allim, MIS (Promotor); Dr Drs Yusdani, MAg (Co Promotor); Prof Muhamad Abdun Nasir, MA, PhD, Prof Alimatul Qibtiyah, MA, PhD, dan Dr Sri Wahyuni, SAg, MAg, MHum (Penguji).

Khoirul Anam menjelaskan latar belakang desertasi ini didasari adanya fenomena istri yang bekerja ke luar negeri untuk membantu atau menggantikan peran suami dalam mencari nafkah dengan kesepakatan bersama. Namun, ketika berada di luar negeri istri mengajukan cerai gugat kepada suaminya dengan berbagai alasan.

“Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan, mengapa terjadi cerai gugat yang diajukan pekerja migran, dan bagaimana upaya suami mencegah terjadinya cerai gugat, serta bagaimana perspektif gender para pihak dan hakim di Pengadilan Agama eks Karesidenan Kediri. Metode penelitian ini, menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis, konseptual dan filosofis,” kata Khoirul Anam.

Hasil penelitian, kata Khoirul Anam, terdapat enam alasan cerai gugat pekerja migran. Pertama, alasan ekonomi; kedua, alasan adanya suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); ketiga, adanya alasan campur tangan dari pihak ketiga keluarga dan teman; keempat, adanya suami yang menggelapkan uang; kelima, adanya suami tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan istri; dan keenam, adanya suami malas bekerja dan hanya minta jatah uang bulanan.

Sedangkan, upaya suami mencegah terjadinya cerai gugat terdapat lima alasan. Pertama, upaya mendekati keluarga istri. Kedua, upaya mengulur waktu di persidangan. Ketiga, upaya suami melakukan klarifikasi dengan menjawab gugatan cerai gugat sebagai bahan pertimbangan putusan hakim. Keempat, suami berusaha membangun komunikasi dengan istri. Kelima, suami berdoa dan memohon kepada Allah Swt.

Perspektif kesetaraan dan keadilan gender para pihak dan hakim dalam kasus cerai gugat pekerja migran di eks Karesidenan Kediri, menunjukan pandangan moderat dalam pemenuhan nafkah. Pandangan moderat tersebut, dipengaruhi hukum keluarga yang masih kurang sensitif gender, adanya budaya
patriarki di masyarakat eks-Karesidenan Kediri, dan adanya penafsiran agama yang cenderung patriarki.

Temuan penelitian ini, kata Khoirul Anam, dapat digunakan sebagai upaya untuk mengembalikan nilai humanis ke-Islaman dalam keluarga muslim di eks Karesidenan Kediri, yang tidak kapitalis terkait peran pemenuhan nafkah keluarga. “Perlu upaya mengubah cara pandang para pihak dalam rumah tangga yang mengedepankan nilai-nilai humanis dan tidak kapitalis. Selain itu, diharapkan hakim mampu untuk melahirkan putusan yang sensitif gender dengan pendekatan multidisiplin ilmu dalam kasus cerai gugat pekerja migran Indonesia berdasarkan nilai humanis yang berkeadilan,” harap Khoirul Anam. (*)