YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) memberikan advokasi kepada Apoteker di Sistem Kesehatan Nasional. Sebab selama ini kedudukan Apoteker belum memiliki definsi yang jelas sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan pelayanan profesional apoteker.
Demikian Siaran Pers PSHK UII yang dibacakan Retno Widiastuti, Dosen dan Peneliti PSHK FH UII sebelum diskusi ‘Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief,’ di Mini Auditorium Lt. 4 Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Kamis (15/5/2025). Diskusi menghadirkan Prof Dr apt Yandi Syukri MSi, Guru Besar Farmasi FMIPA UII; apt Ismail Salim Mattulata, Ketua Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu; dan Prof Azis Saifudin SFarm, apt, MSc, PhD, Anggota Kolegium Farmasi Indonesia. Sedang moderator Rahmadina Bella Mahmuda SH, MH, peneliti PSHK UII.
Lebih lanjut Retno Widiastuti, mengatakan pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023) terdapat implikasi. Secara formal, pembentukan peraturan pelaksana maupun secara subtansial dengan pengaturan ketentuan baru khususnya tentang aksesibilitas masyarakat terhadap layanan keapotekeran dan kedudukan apoteker dalam sistem kesehatan nasional.
Berdasarkan hasil penelitian PSHK FH UII, terdapat catatan yang sekaligus bisa memberikan pencerahan kepada publik. Pertama, UU 17/2023 telah melahirkan beberapa peraturan pelaksanaan. Kedua, ketentuan di dalam UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya setidaknya telah mempersulit aksesibilitas masyarakat terhadap layanan professional apoteker.
Ketiga, ketentuan di dalam UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya setidaknya telah mempersempit kewenangan profesi apoteker yang secara teoritis dan konseptual. Keempat, konsep pengaturan layanan profesional keapotekeran yang menciptakan aksesibilitas yang sulit oleh masyarakat. Hal ini secara tidak langsung telah melanggar jaminan hak asasi manusia (HAM).
Kelima, konsep pengaturan apoteker tersebut telah menyimpang dari The International Standard Classification of Occupations (ISCO) tahun 2008 yang diterbitkan World Health Organization (WHO). Peraturan tersebut setidaknya memberikan kewenangan yang memadai bagi apoteker sampai pada kewenangan farmasi klinis.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, PSHK FH UII mengusulkan setidaknya empat rekomendasi. Pertama, kepada Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melakukan pengawasan dan mendorong kepada Pemerintah untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap layanan profesional keapotekeran dan meneguhkan kedudukan strategis profesional apoteker dalam sistem kesehatan nasional.
Kedua, kepada kementerian Hukum dan Keenterian Hak Asasi Manusia untuk melakukan harmonisasi terhadap UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya serta melakukan evaluasi diri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak atas derajat kesehatan yang optimal dalam pengaturan dan praktek profesional keapotekeran.
Ketiga, kepada Kementerian Kesehatan untuk melakukan harmonisasi UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya dengan mengadopsi ketentuan: a. mempermudah akses masyarakat terhadap obat dan kewenangan klinis apoteker; b. melakukan penataan dan pemerataan apoeter yang berkadilan; c. memperteguh kewenangan apoteker dalam praktek kefarmasian dengan tidak mengeliminasi kewenangan kefarmasian dengan tenaga kesehatan lain; dan d. memperluas kewenangan apoteker dalam sistem kesehatan nasional.
Keempat, kepada seluruh Apoteker dan masyarakat untuk mengawasi dan mengawal
upaya mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap layanan profesional keapotekeran. Juga meneguhkan kedudukan strategis profesional apoteker dalam sistem kesehatan nasional. (*)