YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui webnya, beberapa pakar saat ini terus berdiskusi untuk menyiapkan teknologi peringatan dini gempa bumi dan tsunami. Menurut Plt Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati bahwa telah disiapkan sistem untuk menghadapi tsunami megathrust, tetapi juga untuk berbagai jenis tsunami lainnya. Dikutip Minggu (8/9/2024) pada halaman resminya, Dwikorita menekankan pada sistem peringatan dini tsunami yang dirancang berfokus pada ancaman tsunami megathrust. Teknologi ini nantinya berupa Sistem Processing Merah.
Seirama dengan maraknya bahasan prediksi gempa megatrust dan munculnya berbagai bencana di Indonesia, FIAI menyikapi dengan menyelanggarakan Focus Group Discussion (FGD) Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi V dengan mengusung tema “Peran Hukum Islam dalam Pengelolaan Resiko Bencana”, Senin (9/9/2024). FGD sesi V diselenggarakan di ruang sidang Dekanat FIAI, Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4 Sleman.
FGD dibuka oleh Dr. H. Nur Kholis, S.Ag., SEI., M.Sh.Ec. Wakil Dekan Sumber Daya FIAI UII.
“Berharap FGD berjalan dengan baik dan lancar, agar dapat berikan manfaat yang luas. Mari kita optimalkan kegiatan FGD ini, untuk nantinya dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat agar betul-betul siap. Apalagi ini BMKG sudah berikan peringatan terhadap potensi bencana gempa megathrust. Untuk diskusi hari ini akan bahas kesiapan menghadapinya termasuk kesiapan finansial,” sambutnya.
FGD menghadirkan 2 narasumber internal dari unsur dosen FIAI UII. Narasumber pertama dari Pakar Ekonomi Syariah, Dr. H. Nur Kholis, S.Ag., SEI., M.Sh.Ec., dosen FIAI UII, juga sebagai Pengurus MUI Sleman, Pengurus Basyarnas DIY, Pengurus Yayasan Masjid Syuhada, Pengawas LAZIS UNISIA dan Pengawas Lembaga Wakaf Uang Unisia. Dr Nur Kholis lulusan Program Doktor UIN Sumatra Utara, pada FGD ini mengusung tema Mitigasi Resiko dan Bencana dengan Asuransi Perspektif Fikih. Narasumber kedua, Dr. Roem Syibly dosen FIAI UII mengangkat tema Pendekatan Hukum Islam untuk Pengurangan Risiko Bencana: Memastikan Perlindungan Hukum Kelompok Rentan pada Masyarakat Muslim.
Dipandu moderator Fuat Hasanudin, Lc.,MA, narasumber pertama Dr. Nur Kholis berikan pemantik diskusi.
“Kalau di Indonesia dari sisi Indeks literasi terkait dengan asuransi masih jauh lebih rendah dibanding misal perbankan. Kalau financial inclusion Indonesia sudah mencapai 85% di tahun 2024 ini. Targetnya 90%. Kalau financial literasi masih di bawah 50%, secara keseluruhan. Kalau untuk asuransi syariah indeks literasinya masih 10% kalau financial inclusion masih 12%. Perbankan lebih dominan, kalau bicara ekonomi islam langsung pikirannya perbankan syariah. Asuransi syariah masih sangat rendah,” kata Dr. Nur Kholis.
Tambahnya, Indonesia, menurut Bank Dunia, adalah negara peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia yang memiliki risiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat dampak berbagai jenis bencana. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko lebih dari 10 jenis bencana alam, antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi. Korban tidak hanya jiwa tapi juga ekonomi.
Imbuhnya, kemampuan APBN untuk mengalokasikan dana bagi penanggulangan risiko bencana hanya sebesar 3 hingga 10 trilyun rupiah setiap tahunnya. Sedangkan jika mengambil contoh gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004 ,menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi hingga mencapai Rp 51,4 triliun, jauh di atas kemampuan APBN. Masyarakat tidakbsia lagu menggantungkan dari APBN, sehingga perlu ikhtiar secara mandiri.
“Diperlukan ikhtiar meminimalkan dampak risiko, bencana di antaranya proteksi dari asuransi,” kata Dr. Nur Kholis
Dilengkapinya, bahwa kerusakan akibat banjir dan gempa bumi tidak ditanggung dalam polis asuransi pemilik rumah secara umum. Solusinya perlu membeli asuransi banjir atau asuransi gempa bumi terpisah di samping polis asuransi rumah. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Itu semua bisa dicover asuransi dengan premi tambahan.
Selanjutnya, narasumber kedua Dr. M. Roem Syibly, S.Ag., MSI dosen FIAI UII mencoba mengangkat sisi historis Islam.
”Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, salah satu bencana besar yang terjadi adalah kekeringan Besar pada tahun 639 M. Bencana ini menyebabkan kelaparan yang sangat hebat di Semenanjung Arab. Khalifah Umar bin Khattab menangani bencana ini dengan langkah-langkah yang sistematis. Antara lain, memerintahkan rakyat untuk berpuasa dan memperbanyak istighfar, sebagai bentuk taubat dan permohonan ampun kepada Allah. Pendistribusian makanan dilakukan secara terorganisir, dengan memanfaatkan bantuan dari daerah lain yang tidak terdampak kekeringan, seperti Mesir dan Suriah. Bantuan ini berupa gandum, makanan pokok, dan hewan ternak,” kata Dr. Roem Syibly
Lanjutnya, Khalifah Umar bin Khattab juga menggelar shalat istisqa’, diikuti dengan mengajak rakyat untuk berdoa bersama memohon turunnya hujan. Khalifah Umar memastikan bahwa rakyatnya tetap mendapatkan makanan dan dukungan selama masa krisis ini.
Dr. Roem Syibly menambahkan bahwa dalam setiap penanganan bencana, pendekatan yang dilakukan oleh para khalifah selalu melibatkan unsur spiritual, seperti doa, shalat, dan istighfar, serta unsur fisik, seperti bantuan makanan, perbaikan infrastruktur, dan pembangunan kembali wilayah yang terdampak. Umat Islam diajarkan untuk memahami bahwa bencana adalah ujian dari Allah dan untuk selalu menghadapinya dengan sabar serta ikhtiar.
Selanjutnya dari sisi regulasi kekinian, Dr. Roem Syibly berikan masukan penyempurnaan payung hukum kebencaan di Indonesia.
”Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memberikan kerangka kerja penting untuk manajemen bencana di Indonesia, tetapi beberapa kritik dan tantangan muncul khususnya terkait dengan perlindungan kelompok rentan,“ Dr. Roem Syibly.
Imbuhnya, masih ada kekurangan kurang spesifik dari regulasi saat ini. Ada kekurangan sisi detilnya, meskipun UU menyebutkan perlindungan kelompok rentan, tidak banyak detail spesifik tentang bagaimana perlindungan ini harus diimplementasikan. Serta, kurangnya pedoman operasional yang jelas dapat mengakibatkan perlakuan yang tidak konsisten terhadap kelompok rentan di berbagai wilayah.
Kritiknya, masih ada keterbatasan akses yang dalam praktiknya, kelompok rentan sering kali menghadapi hambatan dalam mengakses bantuan dan sumber daya. Ini termasuk kesulitan dalam mendapatkan informasi, bantuan keuangan, dan layanan kesehatan selama dan setelah bencana. Seringkali terjadi distribusi sumber daya yang tidak merata, di mana kelompok rentan tidak mendapatkan prioritas yang memadai dalam distribusi bantuan bencana.
“Dari sisi partisipasi dalam perencanaan, masih ada keterlibatan yang terbatas. Meskipun idealnya kelompok rentan harus terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait bencana, dalam prakteknya seringkali suara mereka kurang terwakili. Hal ini dapat mengakibatkan kebijakan dan strategi yang tidak sepenuhnya memperhitungkan kebutuhan dan tantangan unik yang mereka hadapi,” jelas Dr Roem Sybly.
FGD kelima kali ini merupakan sesi terakhir sebelum dijadikan sebuah buku bertema Fikih Kebencanaan.
”FGD kelima ini menjadi penutup, sehingga target berikutnya yaitu penyusunan buku Fikih Kebencanaan, diharapkan sebelum akhir tahun buku sudah selesai disusun,” ungkap Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum, Ketua Panitia FGD Manajemen Bencana dari Perspektif Islam. (IPK)