EWS Banjir Buatan UGM Kurangi Rasa Cemas

Rektor UGM, Prof Dwikorita Karnawati (kiri) meninjau EWS made in UGM. (foto : istimewa)

 

YOGYAKARTA — Early Warning System (EWS) banjir dan tanah ‘made in’ Universitas Gadjah Mada (UGM) dapat mengurangi rasa cemas masyarakat Desa Abang Batu Dinding, Kintamani, Bali. Menyusul pemasangan instrumen landslide EWS di desa tersebut.

“Jelas besar manfaatnya karena alat tersebut akan memberikan peringatan dini ke warga jika sewaktu-waktu bencana terjadi,” ucap I Wayan Ardika, warga Abang Batu Dinding di sela-sela pemasangan EWS di Bali, Ahad (9/10/2016).

Dijelaskan Wayan, pada tahun 1964 silam desa ini pernah dilanda bencana banjir bandang. Bencana ini menelan dua orang korban jiwa meninggal dunia serta menghancurkan pura yang terletak di desa tersebut. Desa yang dihuni 189 KK dengan jumlah warga 570 jiwa ini rawan terhadap banjir dan tanah longsor.

Sedang Kepala BPBD Bangli, I Wayan Karmawan, mengatakan sangat terbantu dengan pemasangan EWS banjir buatan UGM. Sebab kondisi daerah tersebut yang rawan bencana longsor serta banjir bandang.

Pemasangan EWS buatan UGM diikuti dengan berbagai pelatihan tanggap bencana kepada masyarakat. “Masyarakat tahu mana jalur-jalur evakuasi ketika terjadi longsor atau banjir bandang,” kata Karmawan.

Peneliti UGM, Dr Wahyu Wilopo menjelaskan pemasangan empat sensor EWS di Desa Abang Batu Dinding atas kerja sama antara UGM dan BNPB. Alat deteksi longsor yang dipasang terdiri dari ektensometer, tilmeter dan curah hujan. Sebelum alat tersebut dipasang, tim UGMtelah melakukan kajian.

Di antaranya, kajian risiko, sosialisasi, pembentukan tim siaga bencana, pembuatan peta jalur evakuasi, penyusunan standar operasional prosedur (SOP) evakuasi, pemasangan alat EWS dan gladi evakuasi serta membuat kesepakatan bersama dalam pemeliharaan alat EWS. “Kita menentukan lokasi mana saja yang kita anggap berisiko terancam,” kata Wahyu Wilopo sambil menambahkan lebih dari 100 unit EWS yang dipasang di 16 provinsi Indonesia serta perusahaan tambang di luar negeri.

Sedang T Faisal Fathani PhD, salah satu anggota tim peneliti menambahkan sistem ini telah menjadi standar nasional Indonesia (SNI) untuk pemasangan system EWS gerakan tanah di Indonesia. EWS ini mampu mendeteksi gerakan tanah hingga satu milimeter, namun tetap menyesuaikan kondisi lokasi geologi dan struktur tanah tersebut.

Sementara Rektor UGM, Prof Ir Dwikorita Karnawati, MSc PhD, mengatakan pemasangan EWS ini merupakan bentuk kehadiran UGM dalam rangka menjalankan tugas negara. Terutama menerapkan hasil kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

“Ini bukan donasi atau hibah, tapi sebagai wujud persaudaraan, saling bekerja sama untuk menerapkan teknologi sederhana pada masyarakat. Tujuan melakukan kegiatan akademik adalah untuk menjawab persoalan kemanusiaan,” kata Dwikorita.

Rektor juga mengapresiasi keterlibatan warga desa dalam merawat dan memanfaatkan sistem EWS sebagai salah satu sarana untuk membangun kapasitas mereka dalam penanggulangan bencana. Hal ini menunjukkan misi UGM dalam memberdayakan masyarakat telah tercapai.

“Salah satu tolok ukur keberhasilan adalah bila karya ini, begitu diterapkan di lokasi, masyarakat bisa bekerja dan kami tinggal diam saja. Kalau kami masih banyak bicara berarti masyarakat belum paham. Perlu disyukuri bahwa masyarakat benar-benar berdaya memanfaatkan seluruh sistem,” jelasnya.

Dwikorita juga menjelaskan Landslide EWS karya UGM ini berhasil lolos untuk diproses lanjut sebagai standar rujukan dunia (ISO). Dengan demikian, nantinya seluruh produk industri internasional untuk Landslide EWS harus merujuk ke sistem dan teknologi karya UGM ini.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *