Budaya Agama Cara Menyelesaikan Sengketa Jual Beli Intan di Martapura

Amelia Rahmaniah saat mempertahankan desertasinya, Sabtu (29/8/2020). (foto : screenshoot zoom/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Budaya agama badamai, balamahan, dan bagamatan menjadi cara masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan menyelesaikan sengketa jual beli intan melalui pengempit (perantara). Budaya agama ini masih hidup sampai saat ini sehingga di Pengadilan Negeri Martapura tidak pernah ada kasus penipuan jual beli intan yang disidangkan, baik secara pidana maupun perdata.

Amelia Rahmaniah mengungkapkan hal tersebut dalam ujian terbuka dan promosi doktor pada Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (Prodi DHI FIAI UII) Yogyakarta, Jumat (29/8/2020). Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini berhasil mempertahankan desertasi dan berhak menyandang gelar doktor.

Bacaan Lainnya

Desertasi berjudul ‘Budaya Agama dalam Transaksi Jual Belli Intan melalui Pengempit di Martapura Kalimantan Selatan’ ini dipertahankan di depan tim penguji. Mereka terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD (pimpinan sidang), Dr Drs Yusdani, MAg (Ketua Sidang), Dr Dra Junanah, MIS (Sekretaris Sidang), Dr Sidik Tono, MHum (Penguji 1), Dr M Muslich KS, MAg (Penguji 2), Dr Anton Priyo Nugroho, SE, MM (Penguji 3). Sedang Prof Dr Syamsul Anwar, MA sebagai promotor dan Dr Dra Rahmani Timorita Y, MAg (Co Promotor).

Dijelaskan Amelia Rahmaniah banyak sekali kasus penipuan jual beli intan melalui pengempit. Salah satunya, peristiwa sekitar tahun 2012 yang melibatkan sejumlah pemilik intan yang menyerahkan kepada pengempit yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Penipuan yang mencapai miliaran rupiah ini diselesaikan menggunakan budaya agama yaitu badamai, balamahan, dan bagamatan.

Budaya agama ini, jelas Amelia, mempunyai makna religius yaitu sebagai pelaksanaan dari iṣlāḥ yang diajarkan dalam Islam dan juga sebagai bentuk dari sikap sabar dan tawakkal. Selain itu juga mempunyai makna ekonomi yaitu memperkecil kerugian yang ditimbulkan dari permasalahan yang terjadi.

Sedangkan makna sosialnya adalah untuk menghindari cemoohan masyarakat yang memandang negatif terhadap orang yang menyelesaikan masalahnya dengan melaporkannya ke polisi atau ke pengadilan. “Orang yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan, misalnya dengan mengadukannya ke polisi, menyita barangnya akan dinilai oleh masyarakat sebagai orang yang kejam. Hal ini juga untuk menghindari tersebarnya berita terkena tipu, sebab penipuan merupakan aib di masyarakat,” kata Amelia.

Badamai, kata Amelia, merupakan musyawarah untuk menemukan jalan keluar menyelesaikan masalah yaitu dengan cara dicicil setiap bulan. Balamahan yaitu dengan sabar dan tanpa kekerasan Naimah selalu menghubungi untuk menyelesaikan masalah dengan cara baik-baik.

Sedang bagamatan yaitu masalah Naimah ini selesai dalam waktu yang lama sekitar empat tahun. “Memang dalam beberapa kasus, pemilik barang akan menghubungi keluarga pengempit untuk mendapat pergantian barangnya apabila pengempitnya menghilang,” kata Amelia.

Penelitian budaya agama dalam transaksi jual beli intan melalui pengempit di Martapura, Kalimantan Selatan ini dilatarbelakangi minimnya kajian antropologi hukum Islam terhadap budaya Banjar. Di samping itu ada keunikan dalam budaya agama tersebut yang penuh dengan aturan tingkah
laku tersembunyi dan jarang dibahas serta mengandung makna yang jauh lebih kompleks daripada yang diperkirakan.

“Permasalahan pokok yang menjadi fokus penelitian ini adalah perilaku masyarakat yang didasari nilai-nilai Islam yang menunjukkan adanya norma-norma hukum dalam transaksi jual beli intan melalui pengempit di Martapura Kalimantan Selatan,” katanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *