Wisata Halal Sebaiknya Gunakan Istilah Pariwisata Nusantara

Muhammad Fikri saat mempertahankan desertasinya, Senin (6/6/2022). (foto : screenshooyoutube/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Penggunaan sebutan Fikih Pariwisata Indonesia atau Wisata Halal mendapat banyak tentangan dari beberapa daerah. Sebab Wisata halal berkonotasi dengan Islamisasi. Karena itu, Fikih Wisata Indonesia sebaiknya menggunakan istilah baru yaitu Pariwisata Nusantara.

Demikian diungkapkan Muhammad Fikri mempertahankan desertasinya pada Ujian Terbuka promosi doktor di Program Studi (Prodi) Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Senin (6/6/2022). Muhammad Fikri mengangkat judul desertasi ‘Pariwisata Syariah Perspektif Fikih dan Budaya, di Lombok Nusatenggara Barat.’

Bacaan Lainnya

Desertasi tersebut berhasil dipertahankan di depan Tim Penguji yang terdiri dari Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD (Ketua Sidang/Rektor UII), Dr Drs Yusdani, MAg (Sekretaris), Prof Dr Amir Mu’allim, MIS (Promotor), Dr Drs Sarbini, MPhil. (Co Promotor), Dr Nur Kholis, SAg, SEI, M Sh Ec Anggota), Dr Unggul Priyadi, MSi (Anggota), dan Dr M Muslich KS, MAg (Anggota).

Dijelaskan Muhammad Fikri, pariwisata syari’ah masih menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat, baik pada aspek hukum, konsep, dan penerapannya. Di samping itu juga, pengembangan kebijakan pariwisata syari’ah di Lombok Nusa Tenggara Barat juga menyimpan permasalahan tata kelolanya.

“Hal ini terjadi karena belum kuatnya landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila, budaya serta kearifan lokal,” kata Muhammad Fikri.

Saat ini, kata Muhammad Fikri, pariwisata bukan hanya sekedar kebutuhan pelengkap manusia. Sebab fitrah manusia membutuhkan kesenangan, ketenangan, pengalaman, mempererat budaya, mencari ilmu serta mencari kebahagiaan. Sehingga setiap orang perlu melakukan perjalanan atau pariwisata karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk pariwisata.

Lebih lanjut Muhammad Fikri menjelaskan manusia sebagai makhluk pariwisata, maka ia tidak bisa lepas dari namanya perjalanan wisata dan para wisatawan, baik wisatawan muslim dan wisatawan umum. Keduanya merupakan sektor yang mempengaruhi berkembang industri pariwisata, sehingga dalam pengembangannya dituntut untuk memperhatikan kebutuhan primer mereka. Di antaranya, memenuhi makanan dan minuman halal, serta penyediaan tempat ibadah seperti shalat dan puasa.

Hal tersebut dilakukan karena secara umum, pariwisata konvensional dan pariwisata syari’ah memiliki perbedaan yang mendasar. Pariwisata konvensional merupakan usaha-usaha wisata yang menjual jasa serta produk kepariwisataan yang tidak menggunakan prinsip syari’ah. Sedangkan pariwisata syari’ah merupakan usaha-usaha wisata dalam menjual jasa dan produk kepariwisataan dengan menggunakan prinsip syari’ah seperti yang telah ditentukan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). 

Bisnis pariwisata yang berbasis syari’ah saat ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan ekonomi syari’ah. Sehingga tidak menutup kemungkinan pariwisata syari’ah menjadi peluang bisnis yang besar.

Hasil penelitian Crescent Rating dan Master Card tentang Global Muslim Travel Index pada tahun 2021 menjelaskan sebanyak 108 juta orang muslim telah melakukan perjalanan pariwisata dan menghabiskan dana sebesar U$ 145 M pada tahun 2013. Jumlah tersebut merepresentasikan sekitar 1.096 dari total perkonomian wisata global, dan terus meningkat 7.54 setiap tahunnya. Kemudian pada tahun 2019 para wisatawan muslim mencapai 160 juta wisatawan’.

Ke-depan, wisatawan muslim dapat diprediksi akan meningkat dan bahkan menjadi salah satu sektor yang menjanjikan, karena pariwisata akan terus berkembang pesat di dunia. Hal ini terjadi karena pariwisata adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia.

Populasi muslim pada tahun 2030 dapat di prediksi akan mencapai sekitar 26,596 populasi penduduk dunia. Populasi muslim ini meningkat karena berasal dari negara yang tingkat perekonomiannya sedang berkembang seperti: Indonesia, Malaysia, Turki, Saudi Arabia dan negara-negara teluk.Oleh karena itu, populasi muslim dapat menjadi konsumen penting pada bisnis dunia, salah satunya pariwisata. 

Bisnis pariwisata yang berkembang pesat, terutama populasi muslim yang melakukan perjalanan pariwisata, menjadi tantangan tersendiri dalam menjelaskan landasan ontologis hukum pariwisata. Pariwisata syari’ah jika dilihat dari sumber Alquran, paling tidak ada 10 (sepuluh) lebih ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan pariwisata.

Dalam hal perjalanan para wisatawan muslim, tidak bisa dilepaskan dari aspek keyakinan. Aspek keyakinan ini sangat berdampak besar terhadap tujuan atau destinasi wisata yang akan dikunjungi. Hal ini tentu berpengaruh juga terhadap produk-produk serta layanan yang mendukung keyakinan mereka dalam berpariwisata. 

Berkaitan dengan peraturan pariwisata syari’ah pada tahun 2012 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menandatangani MoU atau Nota kesepahaman dengan DSN MUI Nomor: NK.11/KS.001/W.PEK/2012, dan nomor: B495/DSN-MUI/XI1/2012 tentang pengembangan dan sosialisasi pariwisata syari’ah. “Secara umum, peraturan Menteri di atas memberikan pedoman dan standarisasi penyelenggaran usaha hotel syari’ah,” kata Muhammad Fikri.

Kemudian pada tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Menteri No 2 tentang pendoman Penyenggaraan Usaha Hotel Syari’ah. Tetapi, pada tahun 2016 Peraturan Menteri No: 2 tahun 2014 tersebut dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pariwisata No 11 tahun 2016 karena peraturan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kepariwisataan saat ini.
 
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga telah mengeluarkan Permen Nomor 1 Tahun 2016 tentang penyelenggaran sertifikasi usaha pariwisata. Adapun isi peraturan ini mengenai sertifikasi usaha pariwisata halal, namun pasal mengenai sertifikasi usaha pariwisata halal tersebut dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No 12 Tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan Menteri Pariwisata No 1 Tahun 2016.

“Dengan dicabutnya beberapa peraturan Menteri di atas praksis, tidak ada peraturan di tingkat pusat yang mengatur tentang pariwisata syari’ah atau pariwisata halal. Sehingga DSN MUI mengeluarkan fatwa Nomor: 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaran Pariwisata berdasarkan prinsip syari’ah,” katanya. (*)