YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selama ini menopang lebih dari separuh perekonomian Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam transisi menuju praktik bisnis ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini disebabkan masih adanya hambatan regulasi, infrastruktur pembiayaan hijau, biaya investasi tinggi hingga minimnya insentif.
Demikian hasil penelitian Widya Paramita, PhD, Peneliti Bidang Kajian Kewirausahaan, Inovasi, dan UMKM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Hasil penelitian ini telah diseminarkan di Jakarta Convention Center sebagai bagian dari rangkaian Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2025, Jumat (8/8/2025). Seminar yang diselenggarakan Bank Indonesia mengangkat tema ‘Penguatan Sinergi Pembiayaan Hijau Dalam Mendukung Transisi Ekonomi Berkelanjutan.’
Saat ini, kata Widya Paramita, sebanyak 87,81% UMKM di Indonesia belum mengadopsi praktik bisnis hijau atau ramah lingkungan. “Sedang 12,19% lainnya sudah mengadopsi praktik bisnis hijau namun belum dilakukan secara menyeluruh,” kata Widya Paramita.
Mita, panggilan akrab Widya Paramita, mengungkapkan saat ini juga belum ada produk pembiayaan hijau dengan target UMKM hijau yang diimplementasikan di Indonesia, meskipun regulasi yang mengatur pembiayaan hijau telah tersedia. “Sejauh ini lembaga keuangan dan non keuangan belum mengimplementasikan pembiayaan hijau kepada UMKM karena masih terdapat ambiguitas dan kendala dalam penerapan regulasi tersebut,” katanya.
Menurut Mita, ada sejumlah kendala yang dihadapi UMKM dalam mengimplementasikan pembiayaan hijau. Di antaranya, kompleksitas persyaratan pembiayaan hijau dan kriteria UMKM Hijau; keterbatasan infrastruktur pembiayaan hijau dan insentif untuk melakukan praktik hijau; kesulitan menarik investor; serta kesenjangan persepsi risiko pinjaman antara UMKM dan lembaga keuangan. Selain itu, keterbatasan pengetahuan hijau dari sisi supply pada lembaga penyedia pembiayaan hijau; kurangnya kesadaran, pengetahuan, kapasitas dan kapabilitas UMKM untuk melakukan praktik hijau; dan kesulitan akses sertifikasi hijau bagi UMKM yang beralih ke praktik hijau.
Mita mengatakan untuk mewujudkan praktik bisnis hijau diperlukan investasi modal yang tinggi. Hanya saja, manfaat dari investasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam waktu dekat karena animo pasar terhadap produk hijau masih rendah. “Sedang kemampuan modal UMKM terbatas sehingga membutuhkan pengembalian investasi dalam jangka pendek untuk membuat operasional bisnis tetap berjalan,” katanya. (*)