Anies Baswedan : Kepemimpinan Berbasis Narasi Membangun Kepercayaan Kolektif

Anies Rasyid Baswedan saat menjadi pembicara pada GSW 2025 di Function Hall Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM, Senin (14/07/2025). (foto : istimewa)
Anies Rasyid Baswedan saat menjadi pembicara pada GSW 2025 di Function Hall Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM, Senin (14/07/2025). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Kepemimpinan berbasis narasi memiliki kekuatan untuk menyatukan visi, membangun kepercayaan dan menggerakkan aksi kolektif. Kepemimpinan model ini sangat penting diimplementasikan di tengah krisis iklim, ketimpangan sosial, dan menurunnya kepercayaan publik.

Anies Rasyid Baswedan PhD, alumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada Global Summer Week (GSW) di Auditorium Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM Yogyakarta, Senin (14/7/2025). Kegiatan ini diikuti 57 mahasiswa dari sembilan negara dan belajar tentang model bisnis inovatif berkelanjutan dan inklusif selama dua pekan, Senin-Jumat (14-25/7/2025).

Bacaan Lainnya

Anies Rasyid Baswedan yang juga Gubernur DKI Jakarta periode 2017 – 2022 menambahkan kepemimpinan naratif akan membantu orang melihat gambaran besar dan peran mereka di dalamnya. Sehingga menawarkan visi masa depan dan lebih terasa mungkin, bermakna, serta layak diperjuangkan. “Ini bukan sekadar masa perubahan, ini adalah masa yang menuntut kepemimpinan dengan kejelasan, keberanian, dan arah,” kata Anies.

Anies memaparkan alasan kepemimpinan berbasis narasi penting dalam isu keberlanjutan. Menurutnya, keberlanjutan tidak cukup dibingkai melalui angka dan kebijakan teknis. Narasi yang bermakna dapat mengubah keberlanjutan dari sekadar kewajiban menjadi misi bersama.

Anies mencontohkan saat memimpin Jakarta. Anies menerapkan pendekatan naratif dalam berbagai kebijakan publik kebijakan mulai dari integrasi transportasi, revitalisasi trotoar, hingga pembangunan kembali Kampung Susun Akuarium. “Setiap kebijakan ini selalu disertai dengan narasi, bukan untuk publisitas, tetapi untuk tujuan. Saat kami meluncurkan trotoar baru, kami tidak hanya memotong pita. Kami berbicara tentang inklusi, tentang merebut kembali ruang bersama, tentang makna menjadi terlihat di kota sendiri. Narasi bukan kemasan, ia adalah jiwa dari kebijakan itu sendiri,” katanya.

Anies menambahkan cara kerja kepemimpinan berbasis narasi. Kepemimpinan naratif bukan soal karisma atau bercerita penuh emosi demi tepuk tangan. Kepemimpinan naratif adalah cara memimpin dengan niat, struktur, dan tujuan yang mendalam. “Di jantung kepemimpinan naratif terdapat tiga pilar utama yakin kejelasan, konsistensi, dan ko-kreasi,” tandasnya.

Menurut Anies, kepemimpinan naratif bukan hanya teori namun telah dipraktikkan oleh beberapa pemimpin. Mereka bukan hanya tokoh politik, tetapi juga pemimpin bisnis yang memahami bahwa makna adalah penggerak dari pergerakan yang menunjukkan bagaimana storytelling dapat membentuk strategi, memulihkan kepercayaan, dan membuka aksi kolektif.

Salah satunya, kata Anies, Barack Obama yang pada tahun 2008 tampil ke panggung dunia bukan hanya dengan kebijakan, tetapi dengan cerita. Narasinya memberi ruang bagi mereka yang tersisih seperti anak muda, imigran, dan kelas pekerja untuk merasa menjadi bagian dari perjalanan bangsa.

Kepemimpinan naratif, kata Anies, bukanlah sekadar menyampaikan pesan dari atas, melainkan membangun gerakan yang dimiliki bersama. Seorang pemimpin tidak hanya menyuarakan cerita, tapi menciptakan ruang agar orang lain bisa ikut menulis, menerjemahkan, dan memperluasnya sesuai konteks mereka.

Pendekatan ini diterapkan dalam pemerintahan Jakarta melalui konsep Kota 4.0, di mana warga didorong untuk ikut merancang, melaporkan masalah, dan menjalankan solusi bersama. “Narasi juga membantu kita berpindah dari ego-sistem ke ekosistem, dari upaya yang terisolasi menuju kolaborasi yang saling bergantung,” katanya. (*)