Terhambat, Aksi Kemanusiaan Lintas Negara ASEAN

Pembicara pada seminar  Humanitarian Challenge in South East Asia: Capacity and Research, di University Club, Bulaksumur Yogyakarta, Selasa (20/12/2016). (foto : istimewa)
Pembicara pada seminar Humanitarian Challenge in South East Asia: Capacity and Research, di University Club, Bulaksumur Yogyakarta, Selasa (20/12/2016). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA — Adanya proteksi negara dan masyarakat lokal menjadi kendala bagi aksi kemanusiaan lintas negara. Kerena itu, dibutuhkan kesepakatan bersama antar negara untuk mewujudkan aksi kemanusiaan dan pembangunan hak azasi manusia (HAM).

Hal itu terungkap dalam seminar bertajuk Humanitarian Challenge in South East Asia: Capacity and Research, di University Club, Bulaksumur Yogyakarta, Selasa (20/12/2016). Seminar ini diselenggrakan Universitas Gadjah Mada, Network on Humanitarian Action (NOHA) dan European Commission.

Seminar menghadirkan pembicara President NOHA, Prof Joost Herman; Dosen Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Dr Muhadi Sugiono; peneliti University of Social Science and Humanity, Vietnam, Anh Thu Vu; dan peneliti sosial Chiang Mai University, Thailand, Arratee Ayuttacorn, PhD.

Muhadi Sugiono, mengatakan kawasan Asia Tenggra merupakan daerah yang rawan bencana. Berbagai krisis kemanusian yang melanda beberapa negara tersebut seharusnya bagian dari aksi kemanusiaan yang dilakukan antar negara melalui peneliti, pemerintah dan sukarelawan.

“Namun untuk melakukan akse kemanusiaan tersebut memerlukan respon di tingkat pemerintah dan masyarakat lokal. Kita ingin adanya kesepahaman dan kebersamaan dalam setiap akasi kemanusiaan ini,” kata Sugiono.

Menurutnya, aksi kemanusiaan baik di tingkat regional dan lokal perlu dikembangkan sehingga program ini bisa dilaksnakan lintas negara demi terwujudkan ASEAN Community,. Peningkatan akses dan akseoptibilitas masyarakat lokal terhadap aksi kemanusiaan ini perlu ditingkatkan,” katanya.

Sedang Arratee Ayuttacorn PhD menjelaskan perbedaan penegakan HAM di Thailand setelah pemerintahan dipegang junta militer. Menurut hasil penelitiannya, pemerintah junta militer saat ini mengklaim negaranya belum siap melaksanakan referendum konstitusi atau melaksanakan pemilihan umum. “Situasi Thailand saat ini tidak ubahnya dengan kemunculan otoritarianisme. Sepanjang tahun 2015, sebanyak 60 kegiatan yang berkaitan dengan politik dan HAM seperti seminar, panel diskusi akademisi dibubarkan,” kata Arratee Ayuttacorn.

Meski demikian, lanjut Arratee Ayuttacorn, tingkat kekerasan konflik dalam dua tahun terakhir menurun setelah adanya dialog damai antara pemerintah dan kelompok separatis. “Keduanya berkomitmen untuk mengedepankan HAM dan meminimalisir kekerasan,” kata Arratee Ayuttacorn.

Arratee mengakui keterlibatan PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang yang melakukan pendekatan persuasif dengan pemerintah cukup efektif dalam upaya menggalakkan penegakan dan pembangunan HAM.

Anh Thu Vu, mengatakan Vietnam merupakan negara yang rentan terkena bencana alam dan terkena dampak perubahan iklim. Sekitar 70 persen warga Vietnam, rentan berisiko terkena dampak bencana alam. “Bencana tersebut menyebabkan kemiskinan, kehilangan status gender dan status sosial dan ekonomi warga. Namun di Vietnam tidak ada konflik dan teroris,” kata Anh Thu Vu.

Sementara Prof Joost Herman mengatakan pihaknya mendukung adanya riset dan aksi kemanusiaan yang dilakukan akademisi di perguruan tinggi untuk melakukan kolaborasi riset di tingkat lokal dan regional maupun internasional. “NOHA mengundang partisipasi akdemisi dan peneliti dalam penguatan pendidikan, riset dan pelatihan bagi aktor kemanusiaan,” kata Joost Herman.

Kerjasama antar peneliti dan mahasiswa tersebut menurutnya akan mampu membangun jaringan yang kuat antar universitas. Bahkan kerjasama ini mampu meningkatkan Utara-Selatan dan kerjasama Selatan-Selatan.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *