Tax Amnesty Baru Mencegah Kemerosotan Laju Pertumbuhan

Edy Suandi Hamid (paling kiri) dan Moh Mahfud MD (kedua dari kiri) saat menjadi nara sumber pada seminar Tax Amnesty dan Pengembangan Usaha di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Sabtu (17/12/2016). (foto : istimewa)
Edy Suandi Hamid (paling kiri) dan Moh Mahfud MD (kedua dari kiri) saat menjadi nara sumber pada seminar Tax Amnesty dan Pengembangan Usaha di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Sabtu (17/12/2016). (foto : istimewa)
Edy Suandi Hamid (paling kiri) dan Moh Mahfud MD (kedua dari kiri) saat menjadi nara sumber pada seminar Tax Amnesty dan Pengembangan Usaha di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Sabtu (17/12/2016). (foto : istimewa)

BENGKULU — Pakar ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Edy Suandi Hamid menandaskan tax amnesty belum mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Namun tax amnesti baru pada tataran mencegah kemerosotan laju pertumbuhan ekonomi.

Edy Suandi Hamid mengemukakan hal tersebut pada seminar ‘Tax Amenesty dan Pengembangan Usaha’ yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Sabtu (17/12/2016). Selain Edy Suandi Hamid, juga hadir Prof Moh Mahfud MD sebagai pembicara.

Bacaan Lainnya

Menurut Edy, penerimaan pajak dan penerimaan total anggaran dalam APBN 2016 terselamatkan tax amnesty, tetapi bukan berarti laju perekonomian berjalan pesat. “Dalam praktiknya berbagai perkiraan menunjukkan bahwa laju pertubuhan ekonomi hanya berkisar sekitar 5 persen. Atau mengalami kenaikan sedikit dibanding laju pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sekitar 4,79 persen,” kata Edy.

Ini berarti, kata Edy, tax amnesty baru mencegah kemerosotan laju pertumbuhan ekonomi, dan belum mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Padahal untuk menyelesaikan problematik fundamental yang dihadapi perekonomian, seperti persoalan kemiskinan dan pengangguran serta ketidakmerataan pendapatan, membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

“Tax amnesty hanya obat generik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam tahun fiskal 2016 yang lalu. Dalam jangka panjang diharapkan menjadi titik tolak kesadaran wajib pajak, serta meningkatkan tax rasio Indonesia yang masih berkisar 13 persen,” tandas Edy.

Dijelaskan Edy, pengampunan pajak yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini adalah berupaya menarik kembali (repatriasi) dana orang Indonesia yang ada di luar negeri. Selain itu, juga menarik pajak dari pemilik dana yang alpa atau ragu-ragu dengan pajak yang dibayarkan selama ini.

Repatriasi, jelas Edy, akan ada dana segar masuk (capital inflow) ke dalam negeri. Dana ini akan mendorong terjadinya investasi, baik investasi langsung maupun tak langsung (indirect investments).

Target dana repariasi ini sampai akhir masa tax amnesty Maret 2017 adalah Rp 1.000 triliun (!) dan sampai 13 Desember 2016 sudah masuk Rp144 triliun atau sekitar 14,4 persen dari target. Dana bisa digunakan untuk membangun perumahan (property), membangun industri, atau ditaruh ke sektor perbankan ataupun juga beli saham. Kegiatan-kegiatan ini akan mendorong bergeraknnya ekonomi dengan multiplier yang semakin menggairahkan perekonomian.

Berdasarkan pengamatan Edy, aspek pengeluaran anggaran masih belum dikelola secara baik. Inefisiensi dan pemborosan masih terjadi, begitu pula praktik koruptif.

Publik bisa mencermati pada penghujung tahun anggaran sekarang ini, instansi pemerintah – Pusat dan Daerah – sibuk menghabiskan anggaran dengan alasan untuk meningkatkan keterserapan anggaran agar ‘kondite’-nya baik.

“Itu tidak masalah jika betul-betul pengeluaran produktif, memberikan efek multipier yang tinggi, atau sejalan dengan prinsip-prinsip dalam penganggaran. Namun dalam praktiknya yang menonjol adalah pemborosan anggaran. Misalnya dengan ‘memaksimalkan’ pelatihan-pelatihan, perjalanan dinas atau seminar-seminar di ujung tahun anggaran seperti sekarang,” tandasnya.

Kata Edy, perilaku penyalahgunaan anggaran seringkali sudah didesain sejak tahap pertama anggaran disusun. Caranya, melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang membutuhkan anggaran tersebut, seperti kontraktor untuk menerima proyek-proyek raksasa, pemerintah daerah untuk mendapatkan proyek di daerahnya ataupun mendapatkan alokasi dana perimbangan yang diinginkan. “Kasus korupsi tentu saja tidak hanya dilakukan pelaku politik di legislatif, melainkan juga di eksekutif, yang bisa jadi jauh lebih besar jumlahnya,” katanya.

Sementara Moh Mahfud MD mengatakan efektivitas kebijakan pengampunan pajak harus dijamin oleh tertatanya birokrasi Direktorat Jendral Pajak sebagai birokrasi yang bersih dan profesional. “Pembenahan yang telah dilakukan dan cukup berhasil belakangan ini harus dijaga secara ketat, dan terus menerus sampai menjadi budaya kerja direktorat,” harap Mahfud.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *