YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Masyarakat Desa Parit Baru Kabupaten Kampar memiliki larangan adat menikah sepersukuan, dengan tujuan untuk menjaga kekerabatan matrilinieal dan keharmonisan sosial. Aturan adat ini menjadikan Khairul Akmal berniat untuk mengadakan penelitian dan dikaitkan dengan pendekatan hukum Islam dengan melibatkan maqasid syariah Jaser Auda, pakar hukum Islam kelahiran Kanada.
Khairul Akmal merupakan mahasiswa Program Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Penelitian di Desa Parit Baru Kabupaten Kampar dilakukan mulai beberapa tahun lalu, untuk penyusunan disertasi guna meraih gelar doktor. Disertasi berjudul Larangan Perkawinan Sepersukuan pada Adat Desa Parit Baru Kabupaten Kampar Ditinjau dari Maqasid Syariah Jasser Auda, diujikan pada Sidang Terbuka Program Doktor Hukum Islam FIAI UII, 7 Mei 2025, di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
Bertindak sebagai ketua sidang ujian terbuka doktor yakni Dr. Nur Kholis, SEI., M.Sh.Ec, dibantu sekretaris Dr. Anisah Budiwati, S.HI., M.SI. Adapun sebagai promotor Prof. Dr. H. Khoiruddin, M.A. dan kopromotor Dr. M. Roy Purwanto, M.Ag. Didampingi penguji Dr. Mukhsin Achmad, S.Ag., M.Ag dan Dr. M. Roem Syibly, S.Ag., MSI dan Prof. Drs. H. Ratno Lukito, M.A., DCL.
Larangan perkawinan sepersukuan di Desa Parit Baru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan adat masyarakat setempat yang memiliki tujuan untuk menjaga harmoni sosial, mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal dan mencegah konflik internal dalam komunitas. Larangan ini diterapkan dengan dasar filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” yang mencerminkan keterpaduan antara nilai-nilai adat dan ajaran agama Islam. Dalam konteks ketika ada pernikahan sesuku dianggap bertentangan dengan norma-norma yang diwariskan secara turun-temurun, sehingga pelanggar adat ini dapat dikenakan sanksi sosial yang signifikan, seperti pengucilan dari masyarakat, hilangnya dukungan dari Ninik Mamak, atau ketidakabsahan sosial pernikahan tersebut di mata masyarakat adatnya.
“Larangan perkawinan sepersukuan di Desa Parit Baru dalam perspektif maqasid syariah menurut teori Jasser Auda, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umum dan mencegah kerusakan sosial. Meskipun larangan ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran satau hadis, aturan tersebut berakar pada norma adat yang mendukung nilai-nilai moral dan etika yang selarass dengan ajaran Islam. Dalam konteks Watak Koginitif, larangan ini bukan sekedar tradisi adat, tetapi juga hasil interpretasi sosial terhadap nilai-nilai Islam yang telah menjadi bagian dari sistem sosial berfungsi menjaga keseimbangan kekerabatan matrilineal serta stabilitas komunitas,” ungkap Khairul Akmal.
Menurutnya, merunut pada konsep keterbukaan, aturan ini tetap perlu dipatuhi jika lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan mudarat, meskipun evaluasi ulang dapat dilakukan apabila terdapat perubahan sosial yang signifikan. Selanjutnya, hierarki yang saling terkait menunjukkan bahwa jika larangan ini bertujuan untuk melindungi nasab dan menjaga keharmonisan sosial maka dapat dikategorikan sebagai bagian dari perlindungan keturunan atau disebut hifz al-nasl. Multidimensionalitas menegaskan bahwa analisis terhadap larangan ini harus mencakup berbagai aspek, termasuk resiko biologis akibat pernikahan sesuku, peran aturan ini dalam menjaga harmoni sosial dampaknya terhadap sistem ekonomi adat, seperti distribusi harta warisan.
“Dalam prinsip kebermaksudan (purposefulness) larangan pernikahan sesuku berfungsi sebagai mekanisme untuk mencegah konflik internal serta menjaga struktur sosial yang telah diwariskan secara turun temurun,” katanya pada paparan kesimpulan.
Lanjutnya dalam paparan kesimpulan bahwa larangan perkawinan sesukuan tidak hanya dipahami sebagai ketentuan adat, tetapi juga sebagai bagian dari sistem hukum Islam yang beradaptasi dengan kebutuhan sosial kemasyarakatan Desa Parit Baru Kabupaten Kampar. (IPK)