Revisi UU Pemilu Tingkatkan Kualitas Demokrasi

Seminar nasional di UIN Suka Yogyakarta, Jumat (21/10/2016). (foto : istimewa)
Seminar nasional di UIN Suka Yogyakarta, Jumat (21/10/2016). (foto : istimewa)
Seminar nasional di UIN Suka Yogyakarta, Jumat (21/10/2016). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA — Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Achmad Baidowi SSos MSi, menandaskan pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki pelaksanaan Pemilu. Di antaranya, penyempurnaan sejumlah perangkat peraturan Pemilu yang dimaksudkan untuk peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia.

Achmad Baidowi mengemukakan hal itu pada seminar nasional “RUU Pemilu untuk Penguatan Demokrasi di Indonesia” di Convention Hall Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (21/10/2016). Selain Baidowi, seminar ini juga menampilkan pembicara Anfasul Marom SHI MA (Komisioner KPU DIY) dan Hifdzil Alim SH MH (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum-UGM). Sedang keynote speaker Prof Noorhaidi MA MPhi PhD, Direktur Sekolah Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Lebih lanjut Baidowi, mengatakan pelaksanaan Pemilu merupakan salah satu parameter utama untuk mengukur kualitas demokrasi Indonesia. “Jika pelaksanaan Pemilu berjalan secara jujur, bersih, dan berkeadilan maka niscaya tujuan memperkuat demokrasi di Indonesia mudah tercapai. Selanjutnya, tujuan hakiki dari demokrasi untuk kesejahteraan rakyat bakal terwujud,” kata Achmad Baidowi.

Dijelaskan Achmad Baidowi, ada enam materi krusial yang mendapat perhatian ekstra pada pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu. Pertama, terkait sistem Pemilu. Kedua, penerapan parliamentary threshold (PT) atau ambang batas suara Parpol untuk bisa mendudukkan wakilnya di parlemen.

Ketiga, besaran alokasi kursi di setiap daerah pemilihan. Keempat pelaksanaan Pemilu serentak sesuai amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kelima, metode penghitungan suara. Keenam, pengaturan kampanye di media social yang perlu mendapat perhatian khusus.

Sedang Prof Nooorhaidi mengatakan perilaku masyarakat Indonesia masih bersifat transaksional. Misalnya, dalam kampanye menjual program, menggunakan mobilisasi agama, adanya primordial identity dan money politic. “Mestinya rakyat diarahkan menuju demokrasi yang subtansial bukan bersifat procedural,” kata Nooorhaidi.

Sementara Anfasul Marom menuturkan lembaga penyelenggara Pemilu harus memiliki independensi. Karena pada prakteknya regulasi Pemilu harus mendapat persetujuan DPR. Hal ini untuk menjaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak terjebak dalam arus politik. “Karena anggota DPR merupakan produk dari partai politik,” tutur Anfasul Marom yang juga alumni UIN Sunan Kalijaga.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *