Dokter dengan Pasien Sindrom tak Dapat Digugat

dr Budiman seusai ujian terbuka di Fakultas Hukum UGM, Jumat (21/10/2016). (foto : istimewa)
dr Budiman seusai ujian terbuka di Fakultas Hukum UGM, Jumat (21/10/2016). (foto : istimewa)
dr Budiman seusai ujian terbuka di Fakultas Hukum UGM, Jumat (21/10/2016). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA – Dokter Fungsional Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kanwil Kemekum HAM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dr Budiman SH LLM mengatakan dokter praktek swasta yang menangani Sindrom Stevens Johnson tidak dapat digugat di pengadilan. Sebab tindakan dokter praktek swasta menanganai pasien dengan penyakit tersebut umumnya dalam keadaan memaksa (overmacht).

Budiman mengemukakan hal itu pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (21/10/2016). Budiman berhasil mempertahankan disertasi berjudul ‘Pertanggungjawaban Perdata Dokter dengan Pasien Sindrom Stevens Johnson pada Praktek Swasta di Kota Yogyakarta.’

Budiman mengatakan tindakan dokter menangani pasien sindrom ini merupakan tindakan memaksa. Sehingga dokter tersebut tidak dapat dipersalahkan apabila digugat pasien di kemudian hari. “Dokter praktek swasta tidak perlu takut dengan pengobatan yang diberikan kepada pasien jika akhirnya menderita sindrom Stevens Johnson karena hal itu merupakan overmatch,” kata Budiman.

Lebih lanjut Budiman menjelaskan ada 78 dokter praktek swasta di Kota Yogyakarta yang menjadi respondennya. Ia menemukan tiga dokter praktek swasta yang mendapat pasien menderita sindrom Stevens Johnson.

Berdasarkan hasil penelitiannya, kasus medik yang ditangani tiga dokter praktek swasta tersebut belum memberikan pengobatan atau terapi. “Dokter menerima pasien dengan diagnosa awal sindrom di mana pasien minum obat atas inisitif diri sendiri,” kata Budiman.

Menurut Budiman, penyebab munculnya sindrom Stevens Johnson bisa berbagai faktor. Namun pada umumnya berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Penyebab lain bisa berupa infeksi virus, jamur, bakteri, parasit, obat, makanan, dan sebagainya.

Budiman mencontohkan kasus sindrom alergi terjadi ketika seorang dokter memberikan obat allopurinol kepada pasien yang menderita asam urat yang berlebihan. Selanjutnya pasien mengalami alergi yang hebat dan menderita sindrom Stevens Johnson.

“Setelah itu dokter dianggap melakukan malpraktek atau melakukan tindakan kesalahan medik. Padahal setiap tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, baik bersifat diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung risiko,” jelasnya.

Untuk mengurangi kasus serupa, kata Budiman, perlu dibangun komunikasi yang baik antara dokter dan pasien. Komunikasi tersebut dapat meminimalkan kesalahan dalam pengobatan pasien. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya sebagai manusia biasa yang penuh kekurangan dalam melaksanakan tugasnya. “Namun dokter juga harus senantiasa melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta sesuai standar pelayanan medik yang baik,” tandasnya.

Penulis : Heri Purwata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *