YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengajak wisudawan agar menjadi pengguna media sosial (Medsos) yang cerdas dan menjadikan etika sebagai pengendali. Sebab kehadiran media sosial telah memberikan sumbangan terhadap fenomena keterbelahan bangsa.
Rektor UII mengemukakan hal tersebut pada Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Periode VI Tahun Akademik 2021/2022 di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Sabtu (30/7/2022). UII mewisuda 706 lulusan: 13 ahli madia, 624 sarjana, 67 magister, dan dua doktor. Wisuda dilaksanakan secara luar jaringan (Luring), tetapi belum mengundang orang tua wisudawan.
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan menggunakan Medsos dengan cerdas dan memegang etika ini terkesan kecil. Tetapi jika dilakukan secara kolektif, dampaknya bisa luar biasa. Tantangan di waktu lampau, sulit mendapatkan informasi. Tetapi saat ini, informasi melimpah sehingga tantangannya adalah kemampuan menyaring informasi.
“Media sosial memungkinkan menyebarkan kepalsuan pengguna dan informasi. Siapapun bisa membuat akun dan membuat serta menyebarkan informasi. Sebuah pesan bersirkulasi dengan cepat tanpa bisa dikendalikan setelah diunggah,” kata Fathul Wahid.
Gerakan kolektif menggunakan Medsos cerdas dan beretika, bisa mengubah bagaimana algoritme media sosial bekerja yang salah satunya mengandalkan algoritme rekomendasi (recommendation algorithm). Suara yang lantang, seperti yang disimbolkan oleh trending topics atau trending hashtags, akan mempengaruhi yang lain.
“Algoritme rekomendasi, melalui gelembung tapis (filter bubble), jugalah yang menjadikan kita terpapar informasi yang sudah terpilih berdasar perilaku Daring lampau dan profil kita. Jangan heran, jika hari ini mengetikkan ‘sepatu kulit’ di mesin pencarian sebuah platform media sosial, dalam beberapa hari ke depan, tawaran sepatu kulit akan membanjir. Gelembung tapis telah memilihkan informasi untuk kita,” kata Fathul.
Menurut Fathul, fenomena ini bukan tanpa masalah dalam konteks berbangsa. Inilah juga yang menjadikan jurang keberbelahan semakin menganga, karena pengguna Medsos hanya akan diberi informasi yang sesuai dengan prekonsepsi awal. Sedang paparan terhadap informasi dengan perspektif lain menjadi sangat terbatas.
“Sebuah ruang gema (echo chamber) terbentuk. Kita hanya mendengarkan ‘suara
kita’ sendiri, atau suara yang sama dengan suara kita. Kita pun akhirnya terjebak pada bias konfirmasi yang menjadikan kita hanya percaya dengan informasi yang sesuai dengan yang kita yakini sebelumnya,” katanya.
Karena itu, Fathul Wahid mengajak agar kesadaran seperti tersebut perlu diingat terus. Sehingga bisa membentuk warga negara yang dewasa, pemikir mandiri yang berani bersikap, tidak menjadi buih yang terombang-ambing ombak narasi publik, dan sekaligus sanggup hidup dalam harmoni meski berbeda pilihan. (*)