YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Penemuan hukum Islam di Indonesia di era revolusi industri 4.0 seharusnya tidak hanya menggunakan ijtihad akademik burhani-maqasidi yang berorientasi formal-bayani-legalistik. Tetapi juga menggunakan ijtihad integralistik dengan tiga nalar bayani, burhani, dan tajribi.
Hal itu diungkapkan Akhmad Kasban, saat mempertahankan desertasi pada ujian terbuka di Program Studi Doktor Hukum Islam (DHI), Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), di Kampus Demangan Yogyakarta, Senin (6/12/2021). Akhmad Kasban mengangkat judul desertasi ‘Nalar Hukum Islam Satria Effendi.’
Desertasi dipertahankan di depan tim penguji yang terdiri Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD (Ketua), Dr Drs Yusdani MAg (Sekretaris), Prof Dr Kamsi MA (Promotor), Dr Tamyiz Mukharrom MA (Co-Promotor). Sedang penguji Prof Dr Amir Mu’allim MIS, Dr Drs Oman Fathurohman SW MAg, dan Dr Drs Asmuni Mth MA.
Lebih lanjut Akhmad Kasban menjelaskan adanya evolusi pemikiran, maka harus ada perubahan dari ijtihad individual menjadi ijtihad komunal. Ijtihad kolektif ini berdasar pada multi disiplin ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kebutuhan ijtihad tersebut.
Mengutip Fathurrahman Djamil, Akhmad Kasban menjelaskan gagasan segar Prof Dr H Satria Effendi M Zein, MA mulai terlihat ketika Satria mulai mengajar di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) di bawah kepemimpinan Harun Nasution. Saat itu Pascasarjana identik dengan pola dan cara berpikir rasional yang dikembangkan Harun.
Begitu gencarnya kecenderungan rasionalisasi dalam memahami ajaran Islam, sering kali ahli hukum Islam (syari’ah) dianggap sebagai kelompok yang tidak bisa diajak mengembangkan penalaran. Sampai suatu saat Harun pernah mengatakan, bahwa orang Fakultas Syari’ah sulit diajak berpikir modern (maju dan rasional).
Dalam suasana seperti inilah, kata Akhmad Kasban, Satria Effendi masuk ke program Pascasarjana. Dapat dibayangkan, apabila cara berpikir orang syari’ah konvensional yang dipakai Harun, sebagai pimpinan Pascasarjana, belum tentu berkenan menerima kehadiran Satria.
Kehadiran Satria Effendi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta bisa menjadi penyeimbang. Bahkan proteksi terhadap derasnya arus liberalisme yang merupakan dampak logis perubahan sosial dengan segala prosesnya seperti modernisasi, globalisasi, westernisasi dan sekulerisasi. “Kehadiran Satria Effendi sebagai sosok moderat antara kaum literal dan liberal,” katanya.
Analisa Satria Effendi sangat nampak sebagai metodologi berfikirnya tentang hukum Islam, terutama analisanya terhadap yurisprudensi Pengadilan Agama tentang hukum-hukum keluarga. Sebab wewenang Peradilan Agama di Indonesia sekitar masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, sedekah dan ekonomi syari’ah.