YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Banyaknya penyakit jantung bawaan (PJB) di Indonesia akibat minimnya diteksi dini saat masih usia anak-anak. Bahkan hingga kini, deteksi dini kesehatan pada anak-anak tidak secara spesifik mendeteksi kelainan bawaan pada jantung.
Prof Dr dr Lucia Kris Dinarti, SpPD (KKV), SpJP (K), Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (FKKMK) mengungkapkan hal tersebut pada pidato pengukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Kardiologi Kedokteran Vaskuler, Kamis (28/12/2023). Lucia menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ‘Pulmonary Arterial Hypertension sebagai Komplikasi Penyakit Jantung Bawaan: Tata Laksana Komprehensif dari Prevensi hingga Rehabilitasi.’
Lebih lanjut Lucia menjelaskan penyakit jantung dikategorikan menjadi dua yakni Penyakit Jantung Dapatan dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Penyakit Jantung Dapatan merupakan penyakit jantung yang terjadi karena paparan faktor lingkungan dan gaya hidup yang terjadi setelah lahir, misalnya penyakit jantung koroner, penyakit jantung katup, dan gagal jantung. Sedangkan, penyakit jantung bawaan merupakan penyakit jantung yang terjadi akibat abnormalitas perkembangan jantung saat masih dalam janin dan berlanjut hingga setelah lahir.
Menurut Lucia, salah satu penyebab timbulnya penyakit jantung karena prevalensi Pulmonary Arterial Hypertension (PAH). Yaitu suatu peningkatan tekanan dalam sirkulasi pulmonal yang disebabkan oleh proses remodeling dan inflamasi vaskuler pulmonal. “Namun belum ada sistem deteksi dini di Indonesia yang diterapkan pada anak-anak, sehingga sebagian besar anak dengan keluhan ringan, tidak terdiagnosis dengan tepat,” kata Lucia.
Lucia menambahkan menggunakan metode deteksi dini berjenjang, PJB dapat diketahui sejak dini sebelum muncul manifestasi klinis yang lebih berat. “Sehingga dapat dilakukan tindakan penutupan. Di negara Jepang, keberhasilan deteksi dini berjenjang tersebut menurunkan secara drastis angka kejadian PJB pada usia dewasa,” kata Lucia.
Berdasarkan penelitian Lucia, banyaknya penderita PJB pada usia dewasa di Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan kurangnya deteksi dini atau skrining pada saat awal masa kanak-kanak bahkan pada bayi. Meski saat ini deteksi PJB kritis pada bayi baru lahir dengan menggunakan metode pulse oxymetry sudah mulai dilaksanakan dan sudah diadopsi oleh Kementrian Kesehatan menjadi program nasional.
Sejak tahun 2012, kata Lucia, telah dilakukan suatu Registri Penyakit Jantung Bawaan dan PH pada pasien usia di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Hingga November 2023 ini, telah terdaftar 2171 orang pasien dewasa yang menderita PJB.
“Mayoritas PJB adalah Atrial Septal Defect (ASD) diikuti Ventricel Septal Defect (VSD) dan Patent Ductus Arteriosus (PDA) dan serta PH Primer (6%), 70% di antaranya, sudah mengalami PAH ringan hingga berat bahkan Sindrom Eisenmenger pada usia yang relatif muda,” kata Lucia.
Registry tersebut, tambah Lucia, menunjukkan mayoritas perempuan (76%) dan 72% nya datang pada usia mampu hamil. Tim Cohard PH juga mengumpulkan data kehamilan dengan penyakit jantung di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta di mana dalam lima tahun terakhir ternyata PJB menyumbang 53% dari seluruh penyakit jantung pada kehamilan.
“Data ini menyokong fakta bahwa saat ini penyakit jantung berperan sebagai penyebab kesakitan dan kematian ibu hamil. Data di RSUP Dr Sardjito tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil dengan PJB mayoritas adalah ASD yang sebagian besar sudah mengalami Pulmonary Hypertension,” paparnya.
Lucia menyarankan untuk mengurangi angka prevalensi PJB pada usia dewasa, perlu dilakukan tindakan preventif. Di antaranya, berupa penemuan awal penderita PJB sejak masa kanak-kanak melalui program skrining dini yang sederhana, aplikatif dapat diterima oleh anak-anak, keluarga dan masyarakat, dan efektif.
Sebab pada masa kanak-kanak belum muncul adanya gejala dan tanda yang khas. Namun dengan metode pemeriksaan jantung yang sederhana dan teliti, PJB dapat dideteksi dan ditindaklanjuti dengan penanganan secara korektif sehingga tidak menimbulkan komplikasi di masa dewasa.
“Sampai saat ini, skrining atau deteksi dini PJB belum menjadi program deteksi dini rutin pada masa kanak-kanak yang dilakukan di Indonesia karena belum adanya metode yang sederhana, aplikatif dan efektif,” katanya.
Skrining PJB, kata Lucia, bisa dimulai saat kelahiran, anak usia sekolah, remaja, calon pengantin maupun ibu hamil harus dimulai dari sekarang. DIY sebagai inisiator program skrining PJB ini selayaknya dieskalasikan menjadi program nasional sehingga komplikasi Pulmonary Hypertension dapat diminimalkan. Ketersediaan obat yang masih sangat terbatas, baik macam maupun jumlahnya perlu menjadi perhatian Pemerintah Pusat agar rasa keadilan dalam penanganan penyakit jantung bawaan ini dapat terpenuhi. (*)