UII Kembali Hidupkan Diskusi tentang Peradaban Masa Depan

Bedah Buku
Rektor UII, Prof Fathul Wahid saat menyampaikan sambutan pada bedah buku. (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menghidupkan diskusi tentang peradaban yang membahas tentang Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Pada seri pertama diskusi peradaban ini membedah Buku Kapitalisme Religius karya Suwarsono Muhammad, Ketua Yayasan Badan Wakaf UII 2018-2023.

Bedah buku dilaksanakan di Ruang Teatrikal Lantai 2 Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof Dr Sardjito Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Selasa (17/10/2023). Bedah buku menghadirkan penulis buku Suwarsono Muhammad dan dua pembedah yaitu Prof Musa Asy’arie dan Yudi Latif MA, PhD.

Bacaan Lainnya

Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengatakan bedah buku ini merupakan diskusi tentang imajinasi masa depan. “Masa depan itu tidak tunggal. Masa depan yang dibutuhkan imajinasi kolektif. Kita berharap dalam seri-seri diskusi selanjutnya akan banyak imajinasi lain yang akan didiskusikan,” kata Fathul.

Menurut Fathul, mendiskusikan masa depan merupakan hal yang sangat penting. Sebab jika sekelompok orang tidak mendesain masa depannya sendiri maka masa depannya akan didesain oleh orang lain.

Kata Fathul, ada banyak hal untuk mendesain masa depan. Dalam khasanah Sosiologi atau Studi Organisasi ada sebuah teori institusional. Teori ini menjelaskan bahwa bagaimana sebuah institusi terbentuk. Institusi akan membentuk dengan beragam proses, termasuk beragam tekanan eksternal. Tekanannya bisa macam-macam, dipaksa oleh regulasi, otoritas yang lebih tinggi.

Tetapi, tambah Fathul, ada juga institusi itu terbentuk karena kesadaran, normatif. Kelompok tersebut memiliki kesadaran membentuk institusi karena belajar, membaca, studi tiru dan lain-lain sehingga muncul kesadaran baru.

Ada juga tekanannya mengalir, pokoknya begitu tanpa berpikir panjang. Proses yang diakibatkan tekanan-tekanan sehingga pelembagaan terjadi. Proses pelembagaan itu bisa menggunakan dua mekanisme yaitu penyuntikan nilai dan ada pembagian kelompok tertentu melakukan pekerjaan.

“Ketika rutinitas itu terjadi dan berulang-ulang maka terbentuk lembaga. Ada tiga alasan mengapa terlembaga. Pertama, tidak tergantung pada aktor utama. Kedua, diikuti banyak orang. Ketiga, diterima tanpa diskusi lagi,” katanya. (*)